Malang Post – Oligarki berasal dari bahasa Yunani oligarkhía. Artinya: aturan oleh sedikit (olígos: sedikit) dan arkho (mengatur atau memerintah).
Dimaknai sebagai bentuk struktur kekuasaan yang berada di tangan segelintir orang. Orang-orang ini, mungkin atau tidak, dibedakan oleh satu atau beberapa karakteristik.
Seperti bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, atau kontrol perusahaan, agama, politik atau militer. Sepanjang sejarah, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk eksis.
Aristoteles memelopori penggunaan istilah sebagai aturan yang berarti oleh orang kaya. Istilah lain yang umum digunakan saat ini adalah plutokrasi.
Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki.
Dalam ‘hukum besi oligarki’ dia menyatakan pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa. Sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.
Perkembangan politik bangsa Indonesia, belakangan ini, mulai sering muncul kata oligarki. Sedikit kutipan teori politik di awal tulisan ini, sengaja saya dulukan. Sebagai edukasi bagi mereka yang belum paham apa itu oligarki.
Sebaran info atau share di berbagai medsos atau share dari para netizen, juga hampir tiap hari bertopik oligarki. Mereka (penyebar info) menyatakan jika negara kita, saat ini telah dikuasai oligarki.
Oligarki ini menguasai seluruh kebijakan pemerintah. Terutama kebijakan ekonomi, fiskal atau kebijakan yang nantinya bermuara pada cuan. Bidang pendidikan, kesehatan hingga militer dan polisi, dikendalikan oligarki.
Sesuai namanya oligos. Maka orang yang menjadi oligarki ya cuma sedikit. Tidak banyak. Dari tipologi oligarki, mereka bisa terbentuk karena status sosialnya. Masyarakat Jawa, misalnya. Hingga kini sisa monarki dan feodalisme, masih ada.
Mereka menyebutnya dengan istilah kelompok priyayi, santri dan abangan. Ini sesuai hasil studi penelitian Clifford Geertz dalam rentang waktu Mei 1953-September 1954, di daerah Mojokuto, Jawa Timur.
Santri adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam. Abangan yang lebih longgar dan tak terlalu taat pada ajaran Islam. Priyayi adalah golongan bangsawan/ningrat yang tak terlalu taat pada ajaran Islam, terpesona pada adat dan kebiasaan yang datang dari leluhur.
Tiga varian itu bisa dijadikan dasar pengelompokan oligarki. Bahkan pada skala lebih besar, terdapat banyak varian. Seperti religius, nasionalis, ekonomis, proletar. Belum lagi varian kesukuan, golongan dan ras. Meskipun bisa ditekan dan dikendalikan dengan normatif, namun itu tetap menjadi fakta.
Buktinya info berkembang di masyarakat belakangan makin gencar. Bahkan sudah mulai menuding nama-nama kelompok oligarki tersebut. Memberikan label pada mereka. Termasuk negara mana yang menjadi circle nya.
Hingga pandemi covid pun, diarahkan sebagai desain dari para oligos ini. Pertanyaannya, benarkah negara kita ini sudah dikendalikan oligos? Benarkah ada oligarki? Siapa mereka itu?
Mengacu pada Robert Michels yang mengembangkan teori demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki. Maka berkuasanya kelompok super elite ini, menjadi sebuah keniscayaan.
Jangankan organisasi sebesar negara. Organisasi perusahaan atau perkumpulan sosial dan politik pun, akan cenderung menjadi oligarki. Mau tak mau, masyarakat harus menerima ini. Protes sekuat apapun, berteriak sekeras apapun, oligarki tetap terbentuk.
Lalu bagaimana masyarakat menyikapi ini? Minimal para oligos ini bisa membuat kebijakan yang memperhatikan kebutuhan masyarakat. Sesungguhnya sederhana. Kepentingan masyarakat sejatinya sangat mendasar. Sangat normatif. Kecukupan kesejahteraan. Tidak menuntut lebih atau menuntut posisi yang sama dengan para oligos.
Maka para oligos ini perlu membuat kebijakan atau menyusun desain yang bisa memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Paling penting adalah memberikan kesempatan kerja atau lapangan kerja pada masyarakat. Karena masyarakat kita sesungguhnya masyarakat pekerja bukan masyarakat pengemis.
Sederhananya, kasih kerja, kasih bayaran. Selesai. Maka menurut saya, Mekanismenya bisa melalui kontrak sosial. Teori ini, berkembang pada masa Renaissance. Latar belakang hadirnya teori tersebut adalah kebutuhan atas kedamaian, keamanan dan ketenangan bagi kumpulan manusia yang ada di masyarakat.
Pasalnya, jika manusia bisa memperoleh sesuatu hanya mereka yang memiliki kekuatan, pihak yang lemah tidak bisa memperoleh apa pun. Ini yang menyebabkan konflik antarpribadi.
Maka, untuk memenuhi kebutuhan ketenangan dan ketertiban, setiap individu dalam masyarakat harus membuat kontrak sosial dengan pihak yang bisa memberi perlindungan, keamanan, kedamaian dan ketertiban. Pihak yang dimaksud adalah negara.
Sebagai imbalan, masyarakat harus memberikan hak-hak tertentu dan bersedia taat aturan yang dibuat oleh penguasa mereka. Untuk memastikan kepatuhan ini, kemudian dibuatlah berbagai aturan hukum. Maka, dapat dikatakan bahwa negara bukanlah institusi yang secara otomatis tercipta, tetapi hasil sebuah kontrak sosial.
Kontrak sosial ini bisa dilakukan melalui mekanisme Pemilu yang mulai masuk tahapannya hingga 2024. Masyarakat harus menggunakan hak pilihnya, dengan memilih wakilnya dengan tepat. Mulai DPD (Dewan Perwakilan Daerah), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Pusat hingga daerah, Kepala Daerah hingga Presiden.
Disinilah fungsi kampanye. Bukan sekedar pencitraan. Tapi proses kontrak sosial dengan para konstituen. Pemilu akan menjadi proses negosiasi antara rakyat melalui wakil dan pemimpinnya (DPD, DPR dan Presiden) dengan para oligos. Maka rakyat harus memilih wakil dan pemimpin yang kuat, yang benar-benar membela kepentingan rakyat. Kepentingan yang sangat normatif dan sederhana. Lapangan pekerjaan. (*)
Penulis: Anita Yuli Rahmawati, SSi. MPd
*Pemerhati Demokrasi