Malang Post – Beberapa tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai jajaran KPU RI hingga ke level paling kecil. Tapi jangan diremehkan justru jajaran paling bawah ini, merupakan ujung tombak. Bahkan hasil kerjanya menjadi dasar penyelenggaraan hingga tahapan penghitungan suara.
Petugas Pantarlih, yang saya maksudkan sebagai jajaran paling bawah atau paling kecil, namun memikul tugas sangat crusial.Pantarlih singkatan dari Pemutakhiran Daftar Pemilih. Meskipun KPU RI telah menerapkan metode pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, namun proses pemutakhiran harus dilakukan.
Pasalnya, berdasarkan regulasi, DPT (Daftar Pemilih Tetap) harus ditetapkan. Istilah keren jajaran KPU, harus dikunci. Prosesnya pun panjang hampir setahun. Dibagi dalam beberapa tahapan.
Tahapan pertama yang paling mendasar adalah coklit (pencocokan dan penelitian). Coklit inilah yang diemban petugas Pantarlih. Mereka harus menemui para pemilik hak suara dengan cara door to door. Memastikan keberadaan pemilik hak suara, hingga menjelang pemungutan suara.
Mengikuti perkembangan teknologi digital yang sangat cepat, coklit saat ini, berbeda dengan Pemilu 2019. Saat itu, coklit dilakukan 30 hari dengan cara manual. Mencatat pemilik hak suara yang MS (Memenuhi Syarat) dan menghapus yang TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Seperti meninggal dunia, pindah domisili, ganda, invalid dan lainnya.
Setelah melakukan cara manual, Pantarlih juga melakukan E-coklit. Memasukkan data pemilih ke website Sidalih. Para pemilik hak suara ini, nantinya akan dimasukkan ke DPS (Daftar Pemilih Sementara) dan dipublis. Agar masyarakat bisa melakukan pengecekan apakah namanya sudah masuk atau belum. Jika belum, bisa segera lapor ke PPS (Panitia Pemungutan Suara) di kelurahan.
Tahap selanjutnya, KPU menetapkan DPT. Penetapan DPT harus dilakukan dan dikunci pada jumlah tertentu. Jumlahnya tak boleh berubah lagi. Lantaran jumlah DPT ini yang dijadikan acuan mencetak surat suara. Maka kejelian Pantarlih sangat dituntut. Jangan sampai ada pemilik hak suara yang tidak masuk DPT. Karena surat suara tak boleh tersisa, setelah didistribusikan ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Sisanya, dimusnahkan oleh KPUD dengan disaksikan Bawaslu dan Pejabat Forkopimda.
Apakah dengan demikian DPT bisa dikatakan harga mati? Menurut saya, bisa ya bisa. Melihat kaitannya dengan surat suara, sudah pasti harga mati. Bahkan DPT harus dikunci jumlahnya tiap TPS.
Jika petugas KPPS (Kelompok Pemungutan dan Penghitungan Suara) tidak cermat, penghitungan pasti meleset. Karena selisih antara DPT dan pemilih yang menggunakan hak suara, surat suara yang tidak gunakan dan surat suara rusak, jumlahnya harus tetap sama dengan DPT. Tak boleh lebih tak boleh kurang.
DPT bukan harga mati, menurut saya, lantaran jajaran KPU tugas utamanya adalah melayani pemilik hak suara. Jangan sampai ada warga yang tidak bisa menggunakan hak suaranya, karena namanya tidak masuk DPT.
Bukankah telah dilakukan coklit? Kenapa masih ada yang belum masuk DPT? Bisa saja terjadi, jika warga saat dicoklit masih berusia 16 tahun. Namun, saat hari H pemungutan suara, usianya sudah lebih atau pas 17 tahun. Karena tak masuk DPT, apakah tak bisa menggunakan hak suara
Bisa. Karena regulasi KPU RI menyiapkan perahu sekoci, yang diberi nama DPK (Daftar Pemilih Khusus). Isinya adalah, warga yang berdomisili setempat atau di lingkup TPS.Jadi DPT bukan harga mati bagi warga pemilik hak suara. Tapi, petugas Pantarlih tidak boleh mengesampingkan.
Karena jika DPK terlalu banyak, bahkan mencapai puluhan orang, maka ketersediaan surat suara bisa kurang.Lantaran surat suara di TPS, jumlahnya adalah sesuai jumlah DPT tiap TPS ditambah cadangan 2,5 persen. Misalkan jumlah DPT di TPS 350 orang, maka surat suara yang didistribusikan 350 lembar. Cadangannya 8 surat suara. Jika DPK nya 10 orang, maka ada 2 orang yang tidak kebagian surat suara. Maka DPK per TPS idealnya, tidak lebih dari 10 orang. Maka, sekali lagi saya katakan, tugas Pantarlih yang saat ini 60 hari, sangat sangat menentukan.
Penulis: Anita Yuli Rahmawati, S.Si, MPd
Pemerhati Demokrasi