
Ibu Ali Akbar, Luluk Zuraida saat menggedong cucu pertamanya, Bintang sambil menceritakan kerinduannya terhadap putra pertamanya. (Ananto)
Malang Post — Sudah lima bulan ini sembilan awak kapal MV Voyager terkatung-katung di Pulau Guam, Amerika Serikat (AS). Sembilan awak kapal itu rata-rata berasal dari kawasan Malang Raya. Termasuk dua awak kapal asal Kota Batu.
Sudah lima bulan tak pulang, tentunya membuat kerinduan sangat bergejolak dalam lubuk hati para keluarga awak kapal tersebut. Termasuk keluarga Ali Akbar Cholid, yang merupakan warga Kelurahan Sisir, Kota Batu.
Ibunda Ali Akbar, Luluk Zuraida sangat berharap putra pertamanya itu bisa segera pulang. Apalagi istrinya baru saja melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Bintang.
“Dulu saat lahiran ayahnya tak bisa mendampingi. Maka dari itu, untuk ritual potong rambut pertama kami akan menunggu kedatangan ayahnya. Selain itu kami juga merencanakan melakukan aqiqah,” ujar Luluk, Jumat (29/10/2021)
Sambil menggendong cucu pertamanya, luluk menceritakan bahwa dirinya sangat merindukan putra pertamanya. Dia bercerita, peristiwa yang sangat menyayat hati adalah ketika istri Ali melahirkan tanpa didampingi oleh sang suami.
“Ali tak sempat mendampingi istrinya melahirkan. Padahal sudah direncanakan pulang saat hamil tua,” crita Luluk
Kata Luluk, meskipun Ali dalam kondisi tertahan sehingga tidak bisa pulang, namun setiap kali bekomunikasi dengan putranya itu, terlihat bahwa Ali tidak dalam kondisi susah. Sebagai seorang ibu, Luluk sejatinya dapat merasakan betapa tersiksanya Ali dan kawan-kawannya yang bertahan di kapal MV Voyager.
“Kalau cerita, yang enak-enak saja, padahal di sana dia tidak bisa pulang. Sebagai ibu saya juga merasakan bahwa kondisi Ali sebenarnya tidak sedang baik-baik saja,” tutur dia.
Sementara itu, Istri Ali, Rani Septi Ridwan menceritakan, Ali merupakan nahkoda kapal tersebut. Ali berani mengambil kontrak ekspedisi kapal tersebut karena kontraknya singkat, yakni hanya dua bulan.
“Dia berani ambil kontrak itu karena kontraknya singkat. Sehingga jika sesuai jadwal saat saya masuk hamil tua dia (Ali) sudah kembali di rumah. Namun kenyataan berkata lain. Dia malah tertahan di sana hingga putra pertamanya lahir,” tutur dia.
Lebih lanjut, semenjak menikah dengan Ali. Ini merupakan kali pertama Rani ditinggal pergi berlayar oleh sang suami. Agar sang suami bisa segera pulang, segala cara telah ditempuhnya. Namun masih saja menemui jalan buntu. Banyak janji-janji akan segar dipulangkan oleh penanggungjawab hanyalah sekadar janji.
“Semoga bisa segera pulang dan segera diproses, tidak hanya di PHP terus. Kasihan sudah lima bulanan hidup di atas kapal dan tidak boleh turun ke daratan. Padahal di atas kapal kondisinya sangat panas,” keluhnya.
Sejauh ini Rani dan keluarganya hanya bisa berkomunikasi melalui telepon, sambungan video dan pesan pendek. Terkadang sinyal tidak stabil karena posisi berada di pinggir pantai dan hanya ada satu WiFi yang dipakai oleh sembilan orang.
“Komunikasi lancar. Setiap hari kami selalu berkomunikasi. Paling sering menanyakan putranya,” sebutnya.
Rani menceritakan, sejak lulus sekolah pelayaran di Poktekpal Surabaya pada tahun 2017 lalu. Ali sudah banyak berlayar membelah samudra. Terutama di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura.
“Dulu saat pertama kali berangkat, sesuai kontrak hanya selama dua bulan dan setelah itu langsung pulang. Waktu tersebut terbagi 1,5 bulan perjalan dari Indonesia ke Pulau Guam dan sisanya untuk mengurus kepulangan ke Indonesia. Namun nyatanya sampai lima bulan belum pulang,” ceritanya.
Saat pertama kali berangkat ke Pulau Guam, Ali bersama 10 rekannya. Namun dua rekannya berhasil pulang terlebih dahulu. Yakni seorang teknisi mesin langsung pulang setelah tiga hari kapal bersandar dan seorang koki yang harus dikirim pulang awal bulan lalu karena sakit parah.
“Selain orang tersebut tidak ada yang bisa pulang. Karena sesuai peraturan mereka terganjal visa dan tidak boleh meninggalkan kapal tersebut,” tandasnya. (yan)