
Malang Post – Rencana mensomasi Pemkot Batu dalam hal ini Dinas Pariwisata, oleh Yayasan Museum HAM Omah Munir ternyata bukan isap jempol belaka. Secara resmi, yayasan tersebut talah melayangkan somasi pada pihak Dinas Pariwisata, Selasa (6/6/2023).
Somasi itu dilayangkan karena tidak ada tindak lanjut yang berarti oleh dinas terkait, setelah bangunan itu selesai dikerjakan pada tahun 2021 lalu. Selain itu juga tidak dilaksanakannya kesepakatan yang telah tertuang dalam perjanjian yang telah dilakukan.
Perwakilan Yayasan Museum Omah Munir dari LBH Pos Malang, Daniel Siagian menyatakan, dengan adanya hal tersebut, dia menilai Pemkot Batu tak serius dalam upaya memajukan dan mengembangkan HAM. Serta menghormati jasa-jasa Munir bin Said Thalib yang saat ini kasusnya masih terus bergulir.
“Somasi ini kami layangkan karena kami tidak pernah mendapat jaminan kepastian, kapan museum itu beroperasi, realisasi perencanaan kegiatan hingga sistem pengelolaannya,” tutur dia.
Selama penantian yang cukup panjang itu, justru Yayasan Museum HAM Omah Munir mendapati pengadaan barang yang tidak sesuai peruntukannya yaitu bangunan Museum. Salah satunya adalah seperangkat alat musik Gamelan.
“Memang ada komunikasi, tapi gak ada jaminan kepastian. PKS juga sudah ada pada 10 Desember 2018 dan 28 November 2022. Intinya memang Pemkot Batu punya masalah soal pendanaan, tapi soal itu kan harusnya juga perlu dikoordinasikan,” tegasnya.
Daniel membeberkan, bahwa Pemkot Batu dalam hal ini Dinas Pariwisata memang menjadi pihak pertama dan Yayasan Museum HAM Omah Munir selaku pihak kedua. Namun hingga saat ini, pihaknya menilai Dinas Pariwisata tidak serius.
“Hingga saat ini di gedung Museum HAM Munir Kota Batu, justru digunakan untuk aktivitas dan kegiatan yang tidak sejalan dengan tujuan awal tanpa ada koordinasi dengan kami,” tuturnya.
Sebab itu, agar tidak terkesan menimbulkan dugaan wanprestasi, pihaknya mengingatkan agar segera ada kepastian dan langkah konkrit soal operasional Museum HAM Omah Munir.
“Sebab itu, kami mendesak Pemkot Batu untuk memberikan keterbukaan informasi publik terkait kepastian kegiatan Museum HAM Munir Kota Batu,” tegasnya.
Seperti diketahui, Museum tersebut dibangun di atas lahan milik Pemkot Batu seluas 2.200 meter persegi di Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu, Kota Batu dengan nilai anggaran Rp 8,2 miliar dari APBD Provinsi Jatim itu belum beroperasi hingga kini. Saat ini, dinas pengelolanya adalah Dinas Pariwisata.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Pariwisata Kota Batu, Arief As Shidiq menyampaikan, komunikasi dengan pihak yayasan telah dilangsungkan beberapa kali. Hanya saja, bukan berarti itu sebagai bentuk tindak pembiaran.
“Soal tuduhan kalau kami melakukan pembiaran, lepas tangan itu tidak benar. Semua persiapan sudah kami lakukan dan lagi-lagi, memang ya kami menunggu anggaran turun. Kalau sudah ada ya pasti langsung kami kerjakan,” jelasnya.
Sementara itu, terkait anggapan pengadaan barang seperti alat musik gamelan di Museum HAM Omah Munir, menurut Arief itu adalah langkah sementara pihaknya untuk mengenalkan Museum HAM.
“Sebenarnya, kami menempatkan alat gamelan itu untuk tujuannya edukasi mengenalkan museum HAM melalui musik juga. Agar pendidikan HAM ini juga sejalan dengan kebudayaan,” tuturnya.
Untuk diketahui, Munir Said Thalib merupakan aktivis HAM kelahiran Malang, 8 Desember 1965 yang bersuara lantang memperjuangkan HAM di Indonesia. Dia menjadi korban pembunuhan saat penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda pada 2004 silam.
Dalam jejaknya, Munir pernah memperjuangkan keluarga korban pelanggaran HAM pada Tragedi Tanjung Priok 1984 yang menewaskan 24 demonstran akibat tindakan aparat keamanan yang membubarkan demonstran.
Selain itu, Munir juga pernah melakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM pada kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah serta menyuarakan kasus penculikan yang mengakibatkan 13 aktivis hilang pada 1997-1998. (Ananto Wibowo)