Oleh: DahlanIskan
INI PERKARA PERDATA. Tapi hukuman yang dijatuhkan bisa mirip hukuman mati di perkara pidana. Dalam perkara ini yang terancam ”mati” adalah perusahaan. Perusahaannya Donald Trump.
Sidangnya dimulai Senin ini. Penggugatnya jaksa New York: Letitia Ann James (64).
Yang digugat Donald Trump (78).
Hakimnya: Arthur F. Engoron (74).
Selasa lalu, hakim Engoron sudah bikin putusan sementara: Trump terbukti melakukan markup di beberapa perusahaannya. Yakni dalam menghitung nilai aset perusahaan.
Itu belum putusan final. Trump boleh melawan putusan itu di sidang-sidang berikutnya. Selama ini Trump dikenal sebagai ”tukang gugat”. Ratusan kali Trump menggugat partner bisnis, kontraktor, dan pemasok. Kali ini ia digugat.
Dulu-dulu ia tidak pernah hadir di pengadilan. Selalu diwakili pengacaranya. Begitulah di perkara perdata. Tergugat tidak harus datang sendiri.
Yang dihadapi Trump kali ini adalah ”hukuman mati”. Mungkin ia akan datang sendiri ke pengadilan.
Engoron dikenal sebagai ”hakim gila”. Engoron bisa menjatuhkan hukuman mati bagi beberapa perusahaan Trump yang di New York. Termasuk perusahaan pencakar langitnya di jantung kota New York: Trump Tower.
Engoron sendiri lahir di Queen, hanya 8 kilometer dari tempat kelahiran Trump. Ia bukan jenis hakim yang bisa diatur-atur. Di Amerika orang percaya: semua hakim seperti itu. Tapi Engoron contoh yang paling nyata.
Apalagi Engoron tidak punya atasan. Ia tidak diangkat oleh atasannya. Ia bukan bawahan menteri kehakiman. Bukan anak buah ketua Mahkamah Agung.
Engoron jadi hakim karena dipilih oleh rakyat New York. Yakni dalam pemilihan umum tahun 2015 lalu. Ia baru akan pensiun tahun 2027. Di Pemilu itu pun Engoron tidak punya pesaing. Begitu melihat Engoron maju, para ahli hukum yang lain tidak mencalonkan diri.
Engoron lulusan sekolah hukum New York University. Sejak tahun 2012 ia sudah jadi hakim perkara perdata.
Hari-hari ini orang New York terus membicarakannya. Namanya viral. Media di sana –yang jadi sumber tulisan ini– tidak henti-hentinya menulis perkara ini.
Jaksa Letitia sendiri sudah sangat lama mengintai praktik bisnis Trump. Dia juga lahir di New York. Sama dengan Engoron, Letitia juga anggota partai Demokrat. Letitia orang kulit hitam dan wanita pertama yang menduduki jabatan itu di situ. Dia juga tidak punya atasan. Tidak takut dipelototi bos yang mengangkatnyi.
Atasannyi adalah rakyat. Dia terpilih dalam Pemilu yang lalu. Dia juga pernah terpilih sebagai anggota ”DPRD” kota New York.
Sebenarnya sangat langka ada ”hukuman mati” seperti yang lagi diperbincangkan ini di pengadilan perdata Amerika. Tapi Engoron mengatakan praktik bisnis curang yang dilakukan Trump sudah berlangsung bertahun-tahun.
Trump yang posisi pencapresannya belum tergoyahkan di kubu partai Republik bersikap seperti yang lalu-lalu: semua ini politisasi. Pelakunya lawan politiknya: Demokrat.
“Penghitungan nilai perusahaan itu relatif, subjektif,” kilah Trump. “Lebih bersifat seni daripada murni ilmiah,” tambahnya.
Trump sendiri lagi naik banding. Ia tidak bisa menerima putusan sementara yang menyatakan ia telah berlaku curang dalam bisnis. Sambil menunggu putusan itu sidang pengadilan dengan hakim Engoron jalan terus. Tanpa dewan juri.
Toh putusan banding di sana sangat cepat.
Sebagai hakim Engoron dikenal adil. Selagi muda, ia pernah jadi sopir taksi. Sebagai seniman ia menyukai musik. Bahkan pernah mengajar musik. Ia juga pernah punya grup band, katanya merendah, kelas kafe.
Sebagai pemusik jiwanya halus. Sebagai pendekar hukum prinsipnya kuat. Nasib bisnis Trump kini ada di tangannya.(*)