Karya seni adalah sesuatu yang menarik bagi orang tertentu, tapi bisa saja tidak menarik bagi orang tertentu lainnya. Karya seni membawa berbagai pengalaman bagi setiap penikmatnya, bagi setiap pemerhatinya, dan bagi setiap penontonnya. Semua campur baur, dalam sebuah medan pertunjukan seni (performance art). Tak jarang, karya seni sering membawa orang pada ketercapaian filosofis, justru karena dia menemukan realitas yang sesungguhnya. Bahkan sering membawa subjek merasa puas justru karena apa yang dia lihat (karya seni) menarik bagi seluruh kesadarannya, kendati orang lain tidak mengalami kepuasan yang sama. Apa dan bagaimanapun itu, setiap karya seni yang ditampilkan, menimbulkan kesimpulan akhir, baik, indah atau pula menarik.
Seniman yang merupakan ‘creator’ (baca: Pencipta) sebuah karya, sering terabaikan bahkan sering tidak dipandang. Seorang seniman terabaikan ketika, kepuasan yang didapatkan oleh penonton-penikmat-pemerhati tersampaikan. Maka atas fakta ini, muncul pertanyaan, mungkinkah karya seni yang diciptakan sang ‘creator’ itu, bisa membawa pengetahuan bagi penonton-penikmat-pemerhati di sebuah pertunjukkan seni pertunjukkan?
Latar penulis untuk mengurai jawaban atas pertanyaan ini, berangkat dari fakta adanya anggapan bahwa karya seni itu hanyalah ‘objek’ bagi penikmatan dan karena itu tak ada muatan pengetahuan dan pengalaman bagi si penikmat seni, kendati mereka merasa puas atas tampilan pertunjukkan seni pertujukkan itu. Di sisi yang sama, dalam kajian yang pernah penulis uraikan dalam karya ‘Seni Sebagai Bentuk Bermakna 2018’, Clive Bell, seorang kritikus seni Inggris, mengatakan bahwa dalam situasi seperti demikian, karya seni hanyalah ‘seni untuk seni’ itu sendiri, seni harus berdiam di dalam dirinya sendiri, tumbuh bagi dirinya sendiri, yang berakibat karya seni tidak dianggap sebagai sebuah pesan yang harus ditanggapi dengan serius.
Pernyataan Bell ini, tentu tidak lepas dari pandangan Immanuel Kant. Kant menegaskan bahwa kesenian merupakan sesuatu yang bisa dirasakan secara pribadi, tetapi tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah pengetahuan yang sahih. Penikmatan estetik merupakan sebuah imajinasi yang kesahihannya harus ditentukan oleh pengenalan (penalaran) sang subjek. Dari fakta di atas, jelaslah bahwa sebuah jastifikasi atas karya seni, mutlak tergantung dari setiap subjek.
Kendati begitu, pertanyaan menarik adalah: Entahkah sebuah karya seni membawa pengetahuan bagi subjek atau tidak? Ataukah sebuah karya seni hanya memberi kepuasan yang secara jelas hanya bagi subjek pada dirinya? Dan jika begitu, bagaimana mungkin sebua karya seni membawa pengetahuan bagi siapapun yang mendengarnya, menikmati, dan melihatnya?
Untuk menjawab hal ini, kita berangkat dari apa yang dikatakan H G. Gadamer, sebagaimana diuraikan oleh Martinho da Silva Gusmao dalam salah satu sub judul bukunya “Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang Mengagungkan Tradisi”, tentang ‘Kritik atas Kesadaran Estetika & Pengalaman Berkesenian’. Dia mengatakan bahwa jika yang terjadi seperti demikian di atas, maka pandangan terhadap karya para seniman (creator) pun mengalami malapetaka. Mereka dianggap tidak memiliki sumbangan yang berarti bagi masyarakat. Padahal seniman dapat menciptakan sumber-sumber bagi kenikmatan dan penikmatan, walau nanti pada akhirnya dianggap tidak menambah apa-apa, tidak pula menambah pengetahuan. (Gusmao 2012: 88).
Hal ini tentu belum menjawab dengan lugas bahwa sebuah karya seni tidak menyumbang apa-apa bagi masyarakat. Dan jika demikian bisakah dikatakan bahwa kesimpulan akhir atas sebuah pertunjukan karya seni di panggung adalah semata-mata hanya membawa kepuasan subjektif saja (?). Bahkan bisa dikatakan upaya untuk mengembalikan ‘seni pada seni’ sebagaimana misi utama kaum post impresionis di jamannya, akhirnya dipertegas dengan fakta tersebut di atas.
Melampaui itu, Gadamer memberikan sebuah pola pikir dan gagasan yang baru terkait hal ini dengan sebuah konsep ‘Pengalaman Berkesenian’. Dia mengatakan bahwa peradaban manusia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari mutu sebuah karya seni. Atau dengan lain kata, sebuah kesenian atau karya seni dipandang sebagai cermin untuk melihat kekuatan pengetahuan manusia di suatu zaman agar dipelajari oleh zaman berikutnya. Terkait hal ini, Gadamer menegaskan juga bahwa sebelum kita benar-benar memahami alam dan dunia dengan pendekatan ilmiah dan konseptual, dunia itu sendiri telah menampakkan diri dalam intuisi ke-seni-annya, yang tampak dalam riak batin dan getar nurani, yang muncul dalam diri si subjek yang melihat karya seni itu dan yang telah menjadi sebuah ‘intuisi’ (baca: Wujud yang langsung terlihat pada ‘pandangan pertama’) yang membawa seseorang menuju kepada pengetahuan yang akan dikonsepkan secara ilmiah. (Ibid., hlm. 90.).
Maka, secara sederhana bisa dimengerti demikian: Ketika mata kita tertarik pada suatu objek, maka cognitio-daya pengenalan sudah mulai menyadari. Dengan demikian, ketika kita menjelajahi sebuah karya seni (melihat sebuah seni pertunjukkan), sebuah karya seni itu, bukan hasil dari khayalan dan tumpukan perasaan seorang secara subjektif. Pengalaman dalam menikmati karya seni, sesungguhnya terjadi perjumpaan, di mana di dalamnya ada keterlibatan, kita menangkap inti sarinya, kita menangkap pengetahuan.
Akhirnya dari ide sederhana ini, dapat disimpulkan bahwa sebuah karya seni diyakini membawa pengetahuan pada subjek, dan bukan hanya semata mencapai kepuasan yang sangat subjektif itu. Pengetahun yang dimaksud adalah sebuah keterlibatan pada pengalaman dalam dalam menikmati karya seni, di mana setiap subjek menangkap inti sarinya.
Penulis: Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado – Pegiat Filsafat-Estetika)