Oleh: Dahlan Iskan
Tambang batu bara haram? Kalau begitu mengapa NU bersemangat sekali untuk bisa dapat hibah tambang dari pemerintah? Bahkan sudah lebih konkrit: alokasi wilayah tambangnya sudah ditentukan (lihat Disway edisi: Tambang Bumi).
Tambang haram? “Jangankan Tambang. Ayam goreng saja bisa haram,” ujar Gus Yahya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). “Misalkan kalau ayamnya hasil curian,” tambahnya. “Atau ayamnya tidak disembelih dengan cara yang benar,” katanya lagi.
Gus Yahya akhirnya memang turun tangan memberikan kontra narasi atas sorotan tajam ke NU di soal tambang.
Kontra narasi serupa tidak dilakukan saat NU disorot telah berpolitik memihak Jokowi dalam Pilpres yang lalu. Waktu itu NU seperti diam-diam menjalankan misi tertentu.
Jadi, kata Gus Yahya soal haramnya tambang, itu karena asal-usulnya, pengelolaannya, dan penggunaan hasilnya.
“Kalau hasil tambahnya nanti untuk judi, ya haram,” katanya. “Tapi memanfaatkan hasil tambang batu bara tidak otomatis haram,” tambahnya.
Soal asal-usul tambang, Gus Yahya justru memuji Jokowi. “Ini kan datang dari niat baik pemerintah untuk menerobos asimetris distribusi sumber daya alam,” ujar Gus Yahya.
Ketimpangan distribusi sumber daya alam itulah, katanya, yang justru akan diterobos pemerintah. Selama ini tambang batu bara hanya dinikmati segelintir pengusaha. Jutaan hektare. Mereka menjadi sangat kaya. Sampai ada yang punya pesawat-pesawat pribadi. Kata Gus Yahya, mereka menjadi terlalu kuat.
Kalau hasil pengurangan lahan tambang dari perusahaan besar itu ditenderkan, pasti akan jatuh ke lingkaran orang-orang itu lagi.
“Padahal kalau diberikan ke ormas keagamaan hasilnya bisa untuk umat,” katanya. Dengan demikian maka keadilan distribusi sumber daya alam pun lebih baik.
Itulah sebabnya ketika mendapat tawaran hibah tambang NU langsung mengajukan permohonan.
“Jangankan tambang batu bara, sampeyan-sampeyan ini ditawari gethuk saja mau,” gurau Gus Yahya. Gethuk adalah makanan berasal dari singkong yang ditumbuk halus. Batubara warnanya hitam. Gethuk warnanya putih.
Kenapa NU mengajukan permohonan itu? “Ya karena jelas, kita butuh itu,” katanya.
Gus Yahya lantas berseloroh sambil menunjuk hadirin dari kalangan NU. “Coba lihat sampeyan-sampeyan ini, melarat semua. Sudah berapa lama melarat seperti ini,” katanya.
“Warga NU itu saking sudah lamanya melarat sampai pun imajinasi untuk menjadi kaya saja tidak punya,” katanya.
Gus Yahya rupanya juga mendengar sorotan ini: mengapa tidak mengutamakan penggalangan iuran anggota saja. Kalau setiap warga NU urunan Rp 2.000 saja seminggu sekali, hasilnya sudah lebih banyak dari tambang batu. bara. Apalagi pasti banyak yang tidak sekadar Rp 2 000 –harga sebatang rokok yang paling murah.
Si pengusul kelihatannya belum pernah jadi pengurus ormas: betapa sulitnya mengumpulkan iuran dari anggota. Padahal, kewajiban iuran itu sudah ditegaskan dalam konstitusi ormas: di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga mereka.
Mungkin hanya Muhammadiyah yang relatif bisa menjalankan amanat konstitusi organisasi itu.
Soal iuran anggota itu Gus Yahya hanya bisa menanggapi dengan melucu. “Mau mengembangkan sumber daya manusia kok pakai iuran. Ini pasti gara-gara terlalu lama melarat sehingga imajinasi pun tidak punya”. (***)