Membuka tulisan ini, saya ingin mengulas sedikit tentang sensitivitas kata. Sebagai ilmu pengetahuan, kata adalah sesuatu yang tidak cukup dipahami sekejap, tapi perlu sudut pandang dari berbagai arah dan ruang. Dalam kajian hermeneutika ilmu atau alat memahami kata, seorang teoritikus bernama Hans Georg Gadamer berpendapat bahwa kata atau teks (ketika berwujud sebuah tulisan), harus hadir dan dipahami dengan mengaitkannya pada lingkup historis cakrawala teks. Di sini, Gadamer hendak menegaskan bahwa untuk memahami kata atau teks, mesti melewati beberapa tahapan, tidak instan dan jangan terburu-buru mengambil kesimpulan.
Karena alasan di atas, biasanya orang bijak akan selalu hati-hati, baik saat hendak menciptakan kata sendiri, atau sedang memahami kata yang datang dari orang lain. Ketidak hati-hatian menciptakan kata, baik ucapan apalagi tulisan, rawan disalahpahami banyak orang. Begitu pula kecerobohan memahami kata, akan mengakibatkan kesalahpahaman. Bisa jadi, antara maksud yang dituju tidak sesuai dengan yang dipahami.
Begitulah sisi sensitivitas kata. Oleh karenanya, agar tidak tercipta kegaduhan, lewat Sabdanya, Nabi Muhammad saw. menganjurkan untuk diam saja ketika manusia sedang tidak mampu menciptakan kata-kata yang baik. “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam”, (hadits riwayat Imam Bukhori Muslim). Hadits ini sekaligus juga menegaskan bahwa Islam tidak suka kegaduhan hanya karena gara-gara salah memahami kata.
Dalam konteks masalah Abu Janda atau Permadi Arya yang belakangan ini cukup ramai diperbincangkan, saya ingin melihat dan membacanya dari dua sudut pandang. Upaya ini dilakukan sebagai sebuah ikhtiar memahami maksud dari saudara Abu Janda disatu sisi, serta tanggapan para pihak yang melakukan kritik pada sisi lainnya. Tentu ini sifatnya tawaran, yang memerlukan diskusi lebih jauh.
Pertama, penulis melihatnya dari sudut pandang Nahdlatul Ulama atau yang lebih dikenal dengan NU. Mengapa NU ? Karena penulis melihat sosok Abu Janda ini kerap mengatasnamakan dirinya sebagai bagian dari NU. Di berbagai media sosial, ia bahkan tampil bangga membawa atribut banser atau ansor, yang memang merupakan salah satu banom NU, meskipun secara struktural masih ada yang mempertanyakan status ke NU-annya.
Memang, NU tidak pernah mewajibkan atau membatasi siapapun untuk menjadi bagian darinya. Tapi jika berpendapat atau menanggapi suatu hal mengatasnamakan NU, tentu tidak cukup hanya menjadi NU kultural. Tapi harus masuk dalam jajaran struktural. Dan itu perlu diperhatikan betul oleh siapapun, termasuk saudara Abu Janda, yang ketika mengatasnamakan NU mungkin dilakukan secara tidak sadar, dikarenakan semangatnya yang begitu kuat mencitai NU dan bangsa ini. Wallhu’aklam Bissowab….
Kembali pada NU, dalam tradisi organisasi ini, ada sebuah nalar atau cara berpikir yang melampaui batas rasio pada umumnya. Ini saya sebut dengan istilah sisi irrasionalitas. Mayoritas warga NU sangat mempercayai sisi ini. Bahkan, sisi irrasionalitas juga dipercaya dapat membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif maksudnya adalah menguntungkan, biasa disebut berkah atau berkah. Sedang dampak negatif adalah merugikan atau membawa celaka. Orang kebanyakan menyebutnya dengan istilah karma (ini sebenarnya terlalu radikal. Untuk amannya, sebaiknya kita sebut dengan istilah tidak berkah saja).
Karena yakin ada berkah dan karma tersebut, maka warga Nahdliyyin sangat berhati-hati ketika berurusan dengan apapun yang berkaitan dengan NU. Mengapa demikian ? Karena bagi warga Nahdliyyin, NU adalah wadah berkumpul dan menyatunya para Wali, Ulama, Kyai dan Guru. Sebagaimana adab atau etika seorang santri atau murid yang wajib tunduk dan super hati-hati saat berhadapan dengan Kyai dan Gurunya.
Terlebih lagi, doa para beliau sangat istijabah, di qabul oleh Allah SWT. Maka tidak salah, jika Warga NU akan mengabdi dan memperjuangkan setiap visi misi NU, sebagaimana mereka menerima perintah kyai. Menurut warga nahdliyin, NU adalah wujud formal kyai secara kolektif. Maka berawal dari pengabdian semacam itulah, warga Nahdliyin mengharap berkah atau berkah dari NU. Agar kehidupannya di dunia maupun di akhirat bisa terselamatkan.
Bagaimana jika kurang beradab pada NU..? Maka warga nahdliyin meyakini akan terjadi sebaliknya, yaitu hidupnya tidak akan berkah. Tindakan yang masuk kategori kurang beradab ini misalnya mengatasnamakan NU dan memanfaatkan namanya untuk kepentingan tertentu, sebagaimana misalnya seorang santri memanfaatkan nama kyai untuk kepentingann pribadi. Tak pelak lagi, ia akan mendapat karma dan ke tidak berkahan. Bisa jadi kehidupannya akan mengalami kesulitan, tertimpa musibah dan lain semacamnya.
Itulah sisi irrasionalitas NU yang diyakini oleh warga Nahdliyin, yang tentu saja tidak bisa diukur dengan logika. Sisi irrasionalitas NU tidak bicara soal Logis atau tidak logis. Yang begini ini tidak lagi menjadi pemikiran. Yang penting adalah melaksanakan perintah guru atau kyai dan jangan mempermainkan beliau. Berhubung para guru dan kyai berkumpul dalam satu wadah yang namanya NU, maka terhadap organisasi inipun warga nahdliyin tidak akan berani macam-macam, jika tidak ingin hidupnya tertimpa masalah.
Dalam kasus Abu Janda, banyak para kyai dan tokoh NU yang menyebut bahwa dia tidak hati-hati dan kurang sopan santun saat membawa-bawa nama NU dan banomnya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa Abu Janda seolah olah tampak hanya memanfaatkan nama NU, terutama saat menjustifikasi atau menguatkan pendapat pribadinya dalam menghadapi serangan orang lain.
Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini mengatakan Abu Janda tidak memahami Islam. “Wah, itu nggak ngerti Islam itu. Masa ngomong gitu? Harus dibedakan antara agama dan orang ya. Kalau oknum dalam agama itu di semua agama ada sehingga mencerminkan agama itu kejam, agama itu radikal dan seterusnya,” ujar Helmy Faishal di gedung PBNU, Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Jika benar seperti itu, maka Abu Janda sebenarnya kurang menyadari bahwa NU dijaga oleh para ulama dari dahulu sampai sekarang, baik yang sudah tiada maupun yang masih ada. NU dijaga oleh para ulama lewat doa-doa dan nilai-nilai perjuangan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu diingat kembali bahwa dahulu pendiri Nahdlatul Ulama K.H. Hasyim Asy’ari pernah berdoa “Ya Jabbar Ya Qohhar, siapa yang khianati NU akan kualat, siapa yang ingin menghancurkan NU akan hancur”. Saran saya, warga Nahdliyin termasuk Abu Janda, perlu mengingat doa itu.
Jika karena ketidak sopanan dan kelalaiannya membawa-bawa nama NU sedemikian rupa itu kemudian membawa Abu Janda pada masalah pidana, maka sebaiknya itu dihadapi saja dengan parasaan lapang dada. Saya yakin dia mampu dan tidak mungkin bersikap penakut dengan cara mempersulit atau bahkan lari menyembunyikan diri misalnya.
Namun, lepas dari ketidak sopanan yang dialamatkan kepadanya, saya dukung Abu Janda agar tidak berkecil hati. Mungkin ini adalah skenario Tuhan membuat dirinya terpleset atau tanpa sengaja tersandung masalah. Sebab karena kasus ini, berkat Abu Janda, pemerintah memiliki ruang gerak yang sangat luas dan kuat untuk menindak tegas siapapun mereka yang selama ini ditengarai sering melontarkan isu sara dan memanfaatkan agama untuk kepentingan merusak, terutama mereka kelompok intoleran dan radikal.
Perlu diakui bahwa selama ini pemerintah seringkali terlambat melakukan tindakan atau eksekusi terhadap orang atau kelompok organisasi tertentu yang sering menganggu ketertiban dan mencoba menggangu stabilitas negara. Akibatnya, mereka jadi membesar dan bersikap sok kuasa dan menang sendiri.
Memang, tindakan kongkrit tersebut telah dilakukan, terutama terhadap HTI dan baru baru ini FPI. Namun, ya itu tadi, sungguh sangat terlambat, hingga mereka telah mampu menancapkan akar-akar ideologinya masuk ke berbagai lini kehidupan masyarakat, baik formal seperti kampus dan lembaga lembaga pemerintah, maupun yang non formal dalam bentuk pengajian pengajian tarbiyah. Maka kasus Abu Janda harus dijadikan pintu masuk oleh pemerintah. Untuk tidak ragu lagi mengambil tindakan pencegahan dan tegas terhadap kelompok itu, jika memang sudah mulai menunjukkan eksistensi.
Selama ini, Abu Janda dinilai sangat getol dan keras memerangi kelompok radikal dan intoleran. Jika karena kesalahan yang terpeleset itu, dia harus berhadapan dengan penegak hukum, maka untuk selanjutnya pemerintah wajib menyeret mereka yang dulunya diserang oleh Abu Janda. Profesionaltas pemerintah dalam hal ini perlu direalisasikan dalam menindak siapa saja yang melanggar dan menciptakan keributan.
Untuk saudara Abu Janda, saya sarankan mulai sekarang melakukan introspeksi dan merenung diri, terutama dalam hal membawa-bawa nama NU. Ingat NU bukan organisasi sembarangan. Proses pendiriannya saja tidak dilakukan secara asal-asalan. Melainkan penuh dengan kontemplasi dan riyadhoh kepada Allah SWT, melalui peran Kyai Kholil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai As’ad Syamsul Arifin dan kemudian dilanjutkan juga oleh para ulama yang lain. Karena proses itu, NU dapat menghadirkan berkah jika diniatkan dengan benar. Dan sebaliknya, dapat mendatangkan karma jika hanya dimanfaatkan.
Memang benar, soal berkah dan karma itu bukan wilayah manusia. Itu adalah wewenang Tuhan. Karena itu, dalam soal qadla dan qadar, penulis termasuk golongan konservatif, yang mempercayai bahwa Allah sudah menetukan apapun yang akan terjadi pada manusia. Perjalanan hidupnya didunia ini sudah tertulis di lauhul mahfud jauh sebelum manusia lahir. Meskipun Allah juga menentukan bahwa hadirnya takdir kepada manusia itu datang melalui proses yang logis. Misal, masih muda umur 25 tahun sudah meninggal. Namun saat meninggalnya diumur itu, bisa jadi karena sebab sakit, jatuh atau hal-hal lain yang menyebabkan nyawanya melayang pergi. Sehingga manusia punya kesimpulan bahwa orang meninggal masih muda oleh sebab sakit. Jika tidak sakit, mungkin tidak akan meninggal. Padahal, apapun penyebabnya yang logis itu, oleh Allah umurnya memang sudah ditentukan 25 tahun.
Maka jika mengacu pada soal qadla dan qadar, saudara Abu Janda jangan berkecil hati. Karena anda ternyata merupakan orang pilihan, yang ditunjuk oleh Allah sebagai pintu pembuka menolong Pak Jokowi untuk lebih tegas lagi terhadap orang atau kelompok yang dengan kepentingan tertentu, telah memanfaatkan agama dalam mencapai tujuan. Akibat ulah mereka ini, nama islam jadi tercemar, budaya menjadi rusak, toleransi tercabik, bangsa tercerai berai dan keutuhan NKRI terancam. Dan merekalah sebenarnya yang patut untuk dihukum.
Dengan kasus Abu Janda, banyak komen bermunculan, baik pro maupun kontra, yang otomatis menyebabkan kegaduhan baru. Bagi yang kontra Abu Janda, ini tentu menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang berani memanfaatkan NU, agar tidak main-main dengan organisasi ini. Sebaliknya, bagi yang pro Abu Janda, yang tentunya akan mati-matian bersuara agar dia dibebaskan dan yang harus dihukum adalah kelompok intoleran, akan menjadi tekanan yang kuat bagi pemerintah untuk tegas kepada kelompok intoleran.
Allah memang sangat berkuasa dan kita tidak bisa mengatur-Nya. Ternyata Allah punya cara tersendiri untuk mengingatkan orang semacam Abu Janda dan lainnya, lewat kasus terplesetnya itu, agar tidak main-main terhadap NU. Namun demikian, itu juga sekaligus merupakan cara Allah untuk mengingatkan pemerintah, agar tegas terhadap orang atau kelompok yang hendak merusak sendi-sendi kemanusiaan dalam koridor beragama, berbangsa dan bernegara. Allah memang punya cara sendiri yang tidak kita ketahui. Sekali Dia berfirman “KUN”, maka dua masalah jadi terungkap. Allahu Akbar..
Penulis : M. Yaufi Nur Mutiullah (Penulis Lepas dan Direktur AMY (Ali Mustafa Ya’qub) Institute Jakarta)