
PULUHAN ribu ton gula petani menumpuk di dua pabrik gula (PG) di Kabupaten Malang. Yaitu, di PG Krebet Baru dan PG Kebon Agung. Penjualannya macet. Dampak dari kebijakan impor gula.
Para petani tebu pun kini gelisah. Roda perekonomian mereka turut macet. Hasil produksi tebu yang sudah mereka setor ke PG, hingga kini belum seluruhnya cair terbayar.
“Masyarakat di Desa Klepu hingga kini masih menunggu. Kapan pencairan dana jual itu bisa terealisasi 100 persen. Meski sebagian sudah ditalangi pihak PG Krebet, tetapi belum maksimal,” ujar Kepala Desa Klepu, Suwanto.
Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI), M. Kholiq, telah berupaya menemui Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan (Mendag) hingga Setneg, di tengah musim giling Juni 2020. Membahas gula lokal yang terpuruk harganya. Dari kisaran Rp 20.000 tinggal hanya Rp 11.200 per kg sesuai putusan pemerintah.
Gula impor tetap banjir. Harga pun terjun bebas. Sejumlah PG berusaha melelang gula produksinya. Hanya laku Rp 10.200 per kg. Bahkan hanya Rp 9.750 per kg. Dua PG di Kabupaten Malang tak berani melepas produksinya dengan harga rendah. Jadilah menumpuk.
Saat DPN APTRI menemui pemerintah, 13 importir gula rafinasi sepakat membeli gula petani. Namun, seiring waktu, dan bahkan hingga kini, mereka mengingkari. Mereka impor raw sugar 1.946.000 ton, tanpa beli gula lokal. “Kalau importir tidak mau beli gula lokal, stop impor,” tegas M Kholiq.(Rizky Wijaya-Eka Nurcahyo)
>>>>>Selengkapnya Di Harian Di’s Way Malang Post Edisi Jumat (22/1)