Inilah buku, yang terbitnya menunggu Gus Dur dan Taufiq Kiemas meninggal dunia. Penulisnya mantan menteri BUMN dua kali: Laksamana Sukardi.
Minggu lalu saya bingung: mana yang harus saya selesaikan dulu. Membaca buku itu atau buku sastra Tembang dan Perang. Dua-duanya tebal. Lebih 400 halaman. Novel karya Junaedi Setiyono itu tidak kalah menarik: lagi diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dan akan diterbitkan Dalang Publisher di Amerika (Disway 12 Juni 2021).
Syukurlah dua-duanya tamat dalam waktu 1 minggu. Dua buku itu menarik. Ditulis dengan bahasa yang sangat mengalir. Asyik. Tapi Disway hari ini hanya membahas yang karya Laksamana Sukardi.
Saya bisa membayangkan kalau buku itu terbit di saat Gus Dur dan Taufiq Kiemas masih hidup: alangkah hebohnya.
Terutama di bab Enam Bulan Menjadi Menteri BUMN.
Saya sendiri sudah lupa kalau pernah ada menteri BUMN yang masa jabatannya hanya enam bulan. Kok begitu mudah lupa. Mungkin karena Laksamana diangkat lagi di posisi yang sama setelah Gus Dur lengser dari jabatan presiden.
Di masa Presiden Gus Dur itu Laks –panggilan akrab Laksamana Sukardi– diganti mendadak. Yang menggantikannya: Rozy Munir. Dramatiknya, empat bulan kemudian Laks menggantikan lagi Rozy Munir.
Saya juga lupa pernah ada drama seperti itu di pusat kendali BUMN.
Drama itu, menurut buku tersebut, dimulai beberapa bulan sebelumnya. Yakni di sebuah sidang kabinet. Zaman itu setiap sidang kabinet keputusan pertamanya adalah: menyerahkan pimpinan sidang ke Wakil Presiden Megawati. Itu karena presiden punya kendala tidak bisa melihat. Sesekali Gus Dur menyela di tengah rapat. Dalam suatu sidang Gus Dur menyela, ingin bicara langsung kepada para menteri. Di situlah Gus Dur minta agar Laks menerima titipannya: mengangkat Rozy Munir sebagai sekretaris Menteri BUMN.
Laks kaget, karena –setelah cari tahu sana-sini– orang tersebut dianggapnya baik tapi jauh dari memenuhi syarat. Rozy adalah aktivis LSM. Tapi Laks tidak bisa menolak perintah presiden.
Laks masih bisa tersenyum. Ia tidak ”semenderita” menteri lainnya: Menteri Pekerjaan Umum Rozik Budioro Sutjipto. Yang juga diperintahkan Gus Dur untuk menerima sekretaris menteri yang baru: kepala PU di Kerobokan, Kuta Utara,
Kabupaten Badung, Bali. Yang kapasitasnya jauh di bawah Rozy Munir. Bahkan golongan kepegawaiannya pun masih sangat rendah untuk jabatan Sesmen. Sampai-sampai sang menteri harus meloncatkan pangkat calon tersebut secara melanggar aturan.
Sejak Rozy menjadi sekretaris, tulis Laks, terbitlah dua matahari di Kementerian BUMN. Rozy terlihat menggalang kekuatan sendiri. Rozy lebih sering melapor langsung ke Presiden daripada kepadanya. Ia memang politikus. Tokoh NU.
Ketika Laks baru enam bulan menjabat sebagai menteri, Gus Dur memanggilnya. Dipanggil pula Menperindag Jusuf Kalla. Keduanya sudah tahu: akan diberhentikan.
Waktu dipanggil bersama itu, Gus Dur –menurut buku itu– langsung memberi tahu keduanya akan diganti. Tidak disebutkan alasannya. Tidak diberi tahu siapa yang menggantikannya. “Tidak ada diskusi dan tidak melayani pertanyaan,” ujar Gus Dur seperti dikutip Laks.
Gus Dur lantas menanyakan apakah keduanya mau diangkat menjadi duta besar. “Saya langsung menjawab, tidak mau,” tulis Laks. “Pak JK lebih bijak. Meski beliau tidak mau tapi hanya mengatakan akan memikirkannya dulu,” tulis Laks.
Laks sudah menduga bahwa yang akan menggantikannya adalah matahari yang satunya: Rozy Munir. Orang Mojokerto ini sarjana ekonomi dari UI. Tokoh nasional NU. Ia mendapat gelar master dari universitas di Hawaii.
Rozy meninggal tahun 2010, di usia 67 tahun. Ia menderita kanker liver. Jabatan terakhirnya adalah duta besar di Qatar. Presiden SBY yang mengangkatnya di tahun 2007.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggal tahun 2009, di usia 69 tahun. Itu berarti setahun lebih dulu dari Rozy Munir.
Taufiq Kiemas yang juga banyak ditulis di buku itu meninggal dunia di tahun 2013, di usia 70 tahun. Berarti empat tahun setelah Gus Dur.
Laksamana Sukardi kini berumur 64 tahun. Tidak lagi di DPP PDI Perjuangan. Bahkan tidak di politik sama sekali. Ia kini mengurus bisnis IT.
Saya tidak bisa membayangkan betapa hebohnya PDI Perjuangan kalau buku itu, dengan isi seperti itu, terbit di saat Taufiq Kiemas masih hidup. Terutama terkait dengan kesulitan Laks membongkar kasus kredit mega-triliun Texmaco.
Laks heran utang konglomerat lain bisa diungkap. Kok Texmaco, milik Sinivasan itu, tidak.
Laks terus berusaha membuka kredit Texmaco yang didapat secara tidak wajar itu. Gagal. Laks merasa sosok TK –panggilan akrab Taufiq Kiemas– ada di balik kegagalan itu. Saat itu TK, ternyata, sedang diproses menjadi Komisaris Utama PT Texmaco.
Laks merasa kasus Texmaco inilah yang menyebabkan ia dipecat sebagai menteri BUMN. Lebih dari itu. Laks juga tersingkir dari kepemimpinan di pusat PDI Perjuangan. Padahal perjuangannya di partai luar biasa. Ia tinggalkan bank.
Untuk hanya jadi ”politikus kasta sudra” bersama Megawati Sukarnoputri melawan Orde Baru. Laks, sebagai Bendahara Umum DPP PDI Perjuangan sama sekali tidak dapat jabatan setelah Kongres di Semarang.
Untung kursi DPR yang ditinggalkan Laks ke BUMN belum diisi orang lain. Begitu tidak lagi jadi menteri dan tidak lagi di DPP PDI Perjuangan, Megawati langsung mengembalikan Laks ke DPR. Itu sekaligus sebagai pelampiasan kekecewaan Megawati pada Gus Dur. Sampai pun memberi Laks jabatan ketua fraksi. Padahal hubungan presiden yang memecatnya dengan DPR lagi panas. Apalagi Gus Dur mengeluarkan keterangan baru: bahwa JK dan Laks itu dipecat karena terlibat korupsi. Gus Dur mengatakan mendapat berkas 400 halaman sebagai buktinya.
Tuduhan itu kian meruncingkan hubungan. Gus Dur sampai dipanggil DPR. “Berkas 400 halaman itu isinya seperti sampah,” ujar Laks. Gus Dur minta maaf di DPR tapi hubungan sudah begitu buruk. Dimunculkan pula soal dana Sultan Brunei Darussalam dan dana Bulog. Gus Dur pun lengser.
Laks masih lumayan: 6 bulan menjadi menteri. Hamzah Haz hanya tiga bulan menjabat Menko Kesra. Ia yang pertama dipecat Gus Dur. Padahal Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu sangat berjasa menggalang ”poros tengah” di DPR. Poros tengah itulah yang berhasil mengangkat Gus Dur sebagai presiden –mengalahkan Megawati yang memenangkan Pemilu 1999. Waktu itu pemilihan presiden masih dilakukan di MPR yang anggotanya masih didominasi anggota DPR –belum ada DPD saat itu.
Laks juga masih lumayan: diberhentikan dengan cara dipanggil ke istana. Waktu masuk ruang kerja presiden, Gus Dur sudah duduk di kursi kepresidenan. Laks dan Jusuf Kalla diminta duduk di dua kursi yang ada di depan meja itu. Dari mulut presiden sendiri Laks mendengar pemecatan itu. Setidaknya tidak seperti Jenderal Wiranto. Yang dipecat dari jauh.
Laks ingat betul kasus Jenderal Wiranto itu. Yang dipecat dengan cara –seperti ditulis di buku itu– lebih menyakitkan.
Waktu itu Presiden Gus Dur lagi berkunjung ke Eropa. Sejumlah wartawan berteriak-teriak dari jauh. Gus Dur berhenti dan mendengarkan teriakan itu. Salah satunya mempertanyakan Jenderal Wiranto. Saat itu juga Gus Dur mengatakan kepada kerumunan wartawan tersebut: akan memecat Wiranto.
Keesokan harinya, di tempat yang lain, sejumlah wartawan mencegat Presiden Gus Dur lagi dari jauh. Mereka meneriakkan pertanyaan: apakah benar dan kapan akan memecat Wiranto. Gus Dur langsung menjawab: pasti akan memecatnya begitu ia tiba di Jakarta.
Gus Dur masih di Eropa beberapa hari lagi. Berita pemecatan Wiranto sudah lebih dulu menjadi berita besar di surat-surat kabar Jakarta.
Benar saja. Begitu mendarat di Jakarta Gus Dur memecat Wiranto.
Sejak pemecatan Hamzah Haz, Jusuf Kalla, Laksamana Sukardi, dan Wiranto itu, suasana perpolitikan nasional kian panas. DPR terus bergejolak. Laks sudah menjadi ketua fraksi terbesar di DPR.
Maka terjadilah sejarah itu. Gus Dur lengser. Megawati menjadi presiden. Laksamana Sukardi kembali menjadi menteri BUMN.
Banyak sekali kisah bagaimana Laks jadi menteri di bawah Gus Dur. Semua ditulis secara detail –dan ada kocaknya.
Misalnya bagaimana Gus Dur secara mengejutkan mengangkat tokoh-tokoh besar dunia sebagai penasihat presiden: Henry Kissinger (mantan Menlu Amerika yang legendaris), Lee Kuan Yew (mantan PM Singapura yang hebat), Paul Volcker (mantan pimpinan Bank Sentral AS).
Gus Dur mengundang mereka untuk ke Jakarta, bertemu langsung dengan presiden. Sebelum ke presiden mereka bertemu Laks minta bahan-bahan masukan. Dalam hati, Laks berkata: kok mereka itu serius sekali, padahal Gus Dur banyak candanya. Laks pun minta agar setelah bertemu presiden mereka memberi kabar bagaimana hasilnya.
“Saya kira sulit bagi kami untuk memenuhi keinginan presiden,” kata mereka seusai bertemu Gus Dur. Di sebagian besar waktu pertemuan itu Gus Dur tertidur. “Kelihatannya presiden terlalu lelah,” kata mereka.
Laks awalnya adalah bankir serius yang mapan. Ia lulusan teknik sipil ITB. Ia bangga bisa di universitas, fakultas, dan bangku yang sama dengan Bung Karno. Maka ia terinspirasi untuk jadi pejuang. Ia merasa hidupnya sia-sia kalau hanya untuk mencari uang.
Maka Laks memilih aktif di PDI Perjuangan. Sejak partai itu masih disudut-sudutkan penguasa saat itu.
Bahwa buku itu ia tulis sendiri dengan baik, Laks memang punya darah wartawan. Kakeknya wartawan. Bahkan tokoh perintis pers Indonesia: Didi Sukardi. Ayahnya pun wartawan terkenal di Antara: Gandhi Sukardi. Adiknya wartawan terkemuka. Pernah menjadi Sekjen PWI Pusat: Wina Armada Sukardi.
Kini Laks sedang menulis buku kedua. Segera terbit. Ia akan bercerita di seputar kasus yang sempat menyeretnya diperiksa Kejaksaan Agung.
Dari buku yang sudah terbit itu saya menjadi tahu bagaimana cara Megawati membela kader utama partai. Yang kadang tidak bisa dilakukan akibat rumitnya persoalan. Megawati terlihat tidak mau membela orang-orangnya secara frontal –terutama ketika yang dihadapi adalah TK, suaminyi sendiri.
Tapi, seperti terhadap Laks, Megawati begitu memperhatikan. Untung, di saat lagi seperti tidak dibela, Laks tetap loyal kepada Mega. Akhirnya Laks dapat posisi istimewa lagi: menjadi menteri BUMN untuk kali yang kedua.
Gara-gara membaca buku itu saya terdorong mencari nomor kontak Laks. Saya baru sadar belum pernah berkenalan, bertemu, atau berbicara dengan Laks.
Maka saya WA Laks: apakah Anda menerima reaksi keras dari kelompok-kelompok yang Anda tulis?
“Dari kelompok Gus Dur tidak ada reaksi. Megawati tidak ada masalah. Mungkin TK akan marah kalau masih hidup. Anyway mereka tidak pernah baca! ��,” jawabnya. (*)