MALANG POST – Sektor informal masih jadi ladang subur bagi warga Kota Batu untuk menambang rupiah. Tak sedikit yang memilih bekerja mandiri ketimbang menjadi pegawai tetap. Dari data Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Batu, hampir separo atau sekitar 49 persen dari total angkatan kerja kini menggantungkan hidupnya di sektor informal.
Mereka tersebar di berbagai bidang, mulai dari petani hortikultura, pedagang, peternak, hingga seniman. Sementara itu, 51 persen sisanya bekerja di sektor formal, baik sebagai pegawai pemerintahan maupun karyawan perusahaan swasta.
Kepala Disnaker Kota Batu, Thomas Wunang Tjahjo menilai kondisi itu tak lepas dari karakteristik wilayah dan potensi ekonomi lokal. Kota Batu yang berhawa sejuk dan memiliki lahan subur memang sangat cocok untuk usaha pertanian, terutama hortikultura.
“Bahkan tak hanya sekadar produksi saja. Pelaku usaha juga bisa memasarkan dan memilih segmentasinya sendiri,” ujar Thomas, Jumat (24/10/2025).
Ia mencontohkan, banyak petani muda Kota Batu yang kini sudah ekspansi ke luar daerah dalam memasarkan hasil panennya. Beberapa di antaranya bahkan sudah menembus pasar daring dan bekerja sama dengan reseller dari kota besar.
“Potensi pendapatannya bisa jauh lebih besar dibandingkan sektor formal,” lanjutnya.
Fleksibilitas waktu kerja juga menjadi alasan lain mengapa sektor informal kian diminati. Tak sedikit pegawai formal yang nyambi di dunia usaha. Ada ASN yang merawat kebun stroberi selepas jam kantor, atau pegawai swasta yang beternak ayam di rumah.
“Banyak yang punya pekerjaan sampingan, jadi kalau satu sumber pendapatan terganggu, masih ada penopang lainnya,” katanya.
Selain itu, bekerja di sektor informal dianggap lebih minim risiko. Jika pegawai formal harus siap menghadapi ancaman PHK saat perusahaan goyah, para pelaku usaha mandiri lebih leluasa menyesuaikan diri dengan kondisi pasar.

OLAHAN APEL: Wali Kota Batu, Nurochman saat mengunjungi salah satu pabrik pengolahan apel di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang digerakkan oleh anak muda. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Menariknya, kini generasi Z justru menjadi tulang punggung baru di sektor ini. Mereka yang lahir di era digital cenderung menghindari pekerjaan kantoran yang kaku.
“Menjadi pekerja kantor kini dianggap tidak relevan dengan karakter gen Z yang ingin bebas dan fleksibel,” jelas Thomas.
Dengan modal kreativitas dan kemampuan teknologi, banyak anak muda Kota Batu yang melahirkan usaha-usaha baru. Mulai kedai kopi kekinian, toko online produk lokal, hingga jasa digital marketing skala mikro.
Namun, Thomas mengingatkan, bekerja di sektor informal bukan berarti tanpa tantangan. Salah satunya adalah ketidakpastian pendapatan. Cuaca ekstrem, misalnya, bisa membuat hasil pertanian anjlok. Begitu juga dengan persaingan usaha yang makin ketat akibat maraknya bisnis baru.
“Pelaku usaha harus adaptif, kreatif dan inovatif agar bisa bertahan,” pesannya.
Selain itu, ada sisi lain yang juga perlu diperhatikan, yakni minimnya jaminan sosial. Tak seperti pekerja formal yang memiliki perlindungan BPJS Ketenagakerjaan, tunjangan pensiun, dan fasilitas kesehatan, pekerja informal kerap harus menanggung sendiri semua risiko.
Meski begitu, semangat masyarakat Kota Batu untuk tetap produktif di jalur mandiri tak surut. Di tengah tekanan ekonomi, sektor informal justru tampil sebagai ruang luas untuk berkreasi, bertahan dan berkembang.
Ia juga menyampaikan, dari tangan-tangan petani muda hingga para pedagang kecil di pasar, denyut ekonomi Kota Batu terus berputar, menegaskan bahwa bekerja tak selalu harus terikat seragam dan absen pagi-sore. Yang penting, tetap menghasilkan dan memberi manfaat. (Ananto Wibowo)




