
Novin Farid Setyo Wibowo, S. Sos, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi (Ikom) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Industri perfilman Indonesia kembali menjadi sorotan dengan hadirnya film animasi “Jumbo”, karya anak bangsa yang langsung mencuri perhatian banyak publik.
Film ini tidak hanya menjadi sebuah hiburan saja, tetapi juga sebagai obat rindu bagi para pecinta bioskop kesayangan akan kehadiran film animasi yang berkualitas dan sudah lama dinanti.
Film ini disutradarai oleh Ryan Adriandhy seorang anak bangsa yang memiliki tekad tinggi serta juga menamatkan studi magister di Amerika.
Novin Farid Setyo Wibowo, S. Sos, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi (Ikom) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mencermati. Bahwa perilisan film “Jumbo” membawa banyak kabar baik dan mendapat respon positif dari masyarakat.
Dia mengatakan, antusiasme publik melonjak tinggi seiring dengan kabar positif yang tersebar luas, meningkatkan rating film dan membangkitkan minat menonton film lokal.
Dari sisi produksi, film ini melibatkan banyak kru dan sutradara lokal, menunjukkan keseriusan dalam pengerjaan setiap detail film ini. Hasil akhirnya, film ini dikemas dengan sangat menarik, mudah dipahami, dan sesuai dengan target pasarnya, yaitu anak-anak.
“Film ini juga melibatkan sutradara dan crew yang cukup banyak, sehingga membuat lebih menarik lagi film garapan kreator Indonesia.”
“Selanjutnya, dari segi pengemasan film terbilang cukup menarik dan mudah dipahami karena target pasar dari film ini adalah anak-anak. Kualitas film juga menjadikan daya saing film jumba dapat bersaing di Insutri film Internasional,” tegasnya.
Selanjutnya, momentum rilis yang bertepatan pasca lebaran menjadi faktor pendukung kesuksesan film ini. Di tengah momen libur dan kebersamaan keluarga, banyak orang merasa membutuhkan tontonan berkesan yang tidak hanya menghibur tetapi juga menyentuh.
“Jumbo” hadir di waktu yang sangat tepat ketika publik sedang rindu pada tontonan yang hidup, hangat, dan bermakna. Film ini, mempunyai nilai plus dan minus diproduksi dengan cukup detail.”
“Bisa bersaing dengan pasar nasional, tayang diwaktu yang tepat, diproduksi oleh kreator anak bangsa, serta ada beberapa catatan yang muncul dari penonton.
Meski begitu, Novin menilai, alur cerita dinilai terlalu sederhana dan latar belakang Jumbo yang kelam karena tidak memiliki orang tua terasa berat untuk sebagian penonton anak.
Selain itu, lagu tema film yang cenderung sedih seharusnya bisa lebih ceria untuk anak-anak. Namun, kehadiran “Jumbo” dinilai sebagai langkah awal yang penting dalam membangun ekosistem perfilman yang lebih sehat.
Novin menegaskankan bahwa, keberlanjutan produksi film membutuhkan dukungan investor, regulasi pemerintah, dan tentu saja minat penonton.
Untuk dapat bersaing, Indonesia harus mulai fokus pada produksi film yang tidak hanya mengikuti selera pasar, tapi juga membentuk selera baru melalui karya yang berkualitas.
Terakhir dia menekankan pentingnya menciptakan film sebagai alat edukasi dan IP (Intelektual Property) jangka panjang, yang mampu menghidupi kreator dan memberi dampak lebih besar pada industri.
“Harapannya, “Jumbo” bisa menjadi pemicu lahirnya film-film animasi edukatif lain yang tak hanya menyaingi produksi pasar lokal juga Internasional, tapi juga menyentuh hati dan membentuk karakter bangsa,” tutupnya. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)