
MALANG POST – Banyak masyarakat menganggap, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi izin semacam SIM untuk memutar musik keras di ruang publik. Padahal bukan itu tujuannya.
HAKI diberikan atas dasar kreativitas dan nilai ekonomis dari sebuah karya. Elemen-elemen seperti desain speaker, nama event hingga konsep visual dalam sound horeg, bisa diajukan sebagai merek atau desain industri. Sehingga bisa dilindungi.
“Pemberian HAKI buka diartikan melegalkan kebisingan di ruang publik.”
“Jadi banyak kesalahpahaman masyarakat terkait pemberian HAKI pada sound horeg,” ujar Kabid Pelayanan Kekayaan Intelektual Kanwil Kemenkumham Jatim, Pahlevi Witantra, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk, yang disiarkan Radio City Guide 911 FM, Kamis (1/5/2025).
Pahlevi menambahkan, pernyataan Kemenkumham sebelumnya bukan untuk mengizinkan sound horeg digunakan secara bebas. Tapi untuk memancing kesadaran pelaku industri agar memahami pentingnya melindungi kekayaan intelektual secara hukum.
Meskipun sering dikritik karena menimbulkan kebisingan, popularitas sound horeg di kalangan masyarakat, justru menunjukkan potensi ekonomi yang tidak bisa diabaikan.
Pahlevi sendiri menilai, kreativitas di balik sound horeg seperti branding acaranya, layak mendapat perlindungan hukum.
Karena untuk istilah ‘horeg’ yang berasal dari Jatim saja, sudah didaftarkan lebih dulu dari Jakarta pada 2023.
“Hal itu sebagai salah satu contoh celah ekonomi yang terlewatkan.”
“Jadi bagi komunitas sound horeg, bisa memahami potensi HAKI yang masih ada. Karena dengan adanya perlindungan, semua pihak akan lebih diuntungkan,” tandasnya.
Pelau sound horeg sendiri mengakui, sempat salah persepsi terkait statement yang disampaikan perwakilan dari Kemenkumham. Yang menyebut sound horeg akan mendapatkan HAKI.
“Awalnya kami mengira HAKI didapat untuk penyelenggaraan sound horeg secara keseluruhan dan mendapat perlindungan hukum,” kata salah satu pelaku usaha sound horeg di Malang, David Blizzard.
David juga menyinggung soal kemunculan sound horeg pertama kali di Kabupaten Malang sekitar tahun 2009, digunakan dalam rangkaian karnaval.
Sampai saat ini, kata David, masih banyak kontroversi di tengah masyarakat, karena dampak negatif dari sound horeg yang sering viral di media sosial.
“Padahal ada sisi positif seperti perputaran ekonomi lokal,” katanya.
Sementara soal kerusakan fasilitas umum, David menilai itu terjadi karena kurangnya koordinasi antara penyelenggara dan penyewa sound.
Kemudian untuk tingkat kebisingan atau desibel, menurutnya perlu dikaji ulang karena standar saat ini dianggap tidak begitu realistis.
Sementara itu dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, I Wayan Suyadnya, SP., S.Sos., turut menyoroti polemik yang terjadi di tengah masyarakat, soal sound horeg dan kaitannya dengan HAKI.
Menurutnya, setiap karya atau ide yang dieksekusi, memang punya hak untuk didaftarkan sebagai kekayaan intelektual.
“Tapi ketika membicarakan sound horeg, masyarakat cenderung lebih fokus pada sisi negatifnya sehingga muncul penolakan,” katanya.
Wayan melihat keresahan masyarakat bukan tanpa alasan. Karena banyak kejadian viral yang memperlihatkan bagaimana sound horeg dianggap merusak. Mulai dari rumah retak, kaca pecah hingga jembatan yang dibongkar demi kelancaran acara.
Selain itu Wayan juga menilai kontroversi sound horeg yang selama ini ada. Salah satunya karena masalah selera. Sebagian bisa menikmati, tapi sebagian lainnya terganggu. (Faricha Umami/Ra Indrata)