
MALANG POST – Apa yang membuat sebutir mutiara begitu berharga? Jawabannya diungkap oleh Rinda Puspasari, S.Pi, MP lewat bukunya ‘Bertemu Mutiara, Indonesia’.
Dalam acara launching dan diskusi di Hotel Tugu Malang, buku ini menggali filosofi mendalam dan perjuangan di balik kilau perhiasan mutiara akhir pekan kemarin.
Dengan menghadirkan tiga narasumber ternama, yakni Rinda Puspasari selaku penulis, Prof. Ir. Aida Sartimbul, M.Sc., Ph.D yang merupakan ahli oseanografi perikanan dan dinamika ekosistem laut Universitas Brawijaya (UB), dan Artis Happy Salma, serta diskusi dipandu oleh Wawan Eko Yulianto, SS., MA., Ph.D., seorang penulis sekaligus dosen Universitas Ma Chung.
Rinda Puspasari berbagi kisah di balik penulisan bukunya. Ia mengungkapkan bahwa kecintaannya terhadap hewan air membawanya mendalami dunia mutiara.
“Buku ini bukan sekadar tentang mutiara, tetapi juga perjalanan, pengetahuan, dan filosofi di baliknya. Saya berharap buku ini dapat mempererat silaturahmi antar pembaca melalui pemahaman yang lebih dalam tentang mutiara,” ujarnya.

Diskusi buku berjudul Bertemu Mutiara, Indonesia menghadirkan tiga narasumber yakni Rinda Puspasari selaku penulis, Prof. Aida Sartimbul dan Happy Salma aktris dan pegiat usaha perhiasan. (Foto: Istimewa)
Prof. Aida Sartimbul menyoroti perubahan iklim berdampak pada ekosistem laut, termasuk budidaya mutiara. Ia mengungkapkan bahwa pemanasan global menyebabkan penurunan reproduksi kerang yang berperan dalam produksi mutiara.
“Dalam budaya Jepang ada filosofi penggunaan mutiara. Mutiara putih itu hanya digunakan dalam prosesi pemakaman sebagai simbol penghormatan tertinggi. Filosofinya adalah menghargai dengan menggunakan sesuatu yang sangat berharga, hanya boleh menggunakan Mutiara puti,h” ujarnya
Sementara itu Happy Salma memberikan perspektif bisnis dalam mutiara. Menurutnya, mutiara tidak hanya soal keindahan, tetapu juga memiliki makna mendalam dalam kehidupan dan etos kerja.
“Mutiara yang buruk akan dibuang, ini seperti kehidupan, di mana integritas sangat penting. Buku ini juga mengajarkan bagaimana kita bisa lebih menghargai proses panjang di balik sebutir mutiara,” tutur Happy.
Ia juga menekankan pentingnya apresiasi terhadap karya yang telah melalui proses panjang. Seperti buku Bertemu Mutiara, Indonesia, yang memakan waktu tiga tahun untuk diselesaikan.
Dalam diskusi ini juga terungkap bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam budidaya mutiara, terutama di perairan Lombok.
Namun, persaingan dengan negara lain seperti Tiongkok menjadi tantangan tersendiri. Kualitas mutiara air laut masih menjadi standar terbaik di dunia, tetapi perubahan iklim dan faktor lingkungan turut mempengaruhi produksi dan kualitasnya. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)