Oleh: Dahlan Iskan
Sudah takdirnya kalau NU mengelola tambang. Unsur utama di logo Nahdlatul Ulama adalah tambang — ingat lomba tarik tambang?
Maka NU yang paling semangat menyambut hadiah Presiden Jokowi ini: ormas agama bisa mendapatkan izin tambang batubara. Tanpa tender. Langsung bisa ditunjuk.
Ormas Kristen-Katolik, lewat KWI, sudah langsung menolak. Muhammadiyah masih mikir-mikir.
Heboh. Pro-kontra. Di masa ‘injury time’ ini Presiden Jokowi masih terus melangkah lebar, menjadi presiden penuh, sampai detik akhir masa jabatannya.
Ada yang mengingatkan NU soal adanya doktrin ‘uang tambang itu haram’. Penyebabnya: merusak alam buatan Tuhan; menjadi sumber kerusakan.
Ada lagi yang mengingatkan: bukan kapasitas ormas keagamaan untuk mengelola tambang.
Gusdurian, paguyuban penerus pemikiran Gus Dur, termasuk yang tidak setuju NU mengelola tambang.
Mungkin ingat kegagalan NU mengelola Bank Nusumma –meski sempat maju sebelum diambil alih lagi oleh partner awalnya, Edward Soeryajaya.
Muhammadiyah juga masih pikir-pikir –mungkin karena ingat kegagalan dalam mengelola Bank Persyarikatan yang tidak sempat maju.
Zaman berubah. Generasi berganti. Yang dulu gagal bisa saja menjadi berhasil. Atau tetap saja gagal karena terlalu percaya diri, emosi, mau hasil yang instan, dan tidak mau belajar dari kegagalan.
Di kalangan NU sendiri masih banyak yang bertanya-tanya. Bahkan dengan nada nyinyir. Misalnya: “kok diberi tambang bekas. Tambang bekas KPC. Bekas tambang itu berbeda dengan bekas kandang ayam”.
Pilihan kata ‘bekas tambang’ memang sungguh tidak tepat. Yang akan diserahkan ke NU itu adalah lahan yang belum digarap yang awalnya milik KPC.
Selama ini KPC mendapat izin terlalu luas. Sesuai dengan peraturan baru luasan itu harus dikecilkan. Setelah dikurangi pun lahan KPC masih 85.000 hektare.
KPC, Anda sudah tahu: milik konglomerat Aburizal Bakrie. Satu tahun KPC memproduksi 60 juta ton batubara. Hitung sendiri kalau harga batubaranya 80 dolar perton.
Saya belum tahu NU akan mendapat berapa puluh ribu hektare. Yang jelas hasilnya akan sangat besar.
Kualitas batubara di lahan KPC, di Sangatta, Kaltim, itu istimewa. Ibarat wanita dia sekelas Sandra Dewi –10 tahun lalu. Kandungan kalori batubaranya di atas 6000. Jadi rebutan pasar internasional. Sangat laris di pasar ekspor.
PLTU di dalam negeri tidak kuat membeli batubara dengan mutu sebagus itu. PLTU di dalam negeri cukup dengan kadar kalori 3000 sampai 4000.
Kadar sulfur batubara dari lokasi NU itu juga istimewa: sangat rendah. Tidak sampai 1. Negara-negara maju pasti berebut batubara dengan kadar sulfur serendah itu: tidak banyak mengeluarkan emisi. Menurunkan kadar keharamannya.
Tiongkok juga punya banyak tambang batubara. Di wilayah utara negara. Tapi sulfurnya tinggi.
Lahan Adaro di Kalsel, milik konglomerat keluarga Boy dan Erick Thohir, juga dikurangi. Entah akan diberikan ke ormas keagamaan yang mana. Lahan Adaro itu cantiknya juga masih sekelas Sandra Dewi –lima tahun lalu.
Pun lahan-lahan milik perusahaan lain yang luasnya juga melebihi ketentuan. Semua akan dikurangi. Kecantikannya juga seperti Sandra Dewi –tiga tahun lalu.
Sampai hari ini baru NU yang jelas-jelas sudah jelas: di mana lahannya. Yang akan menerima pun sudah mau. Bahkan sudah bersemangat –pun barangkali sudah sejak sebelum pemilihan presiden yang lalu.
Sudah takdir NU: lewat tambang NU akan menggali isi bumi. Persis seperti logo NU: bumi dan tambang.
Sembilan bintang di langit yang akan menyaksikan apa yang akan terjadi. (***)