Malang Post — Besaran upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2022 di Jawa Timur sudah didok oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa, Selasa (30/11/2021) kemarin. Penetapan UMK itu berdasarkan pada keputusan Gubernur Jatim nomor 188/803/KPTS/013/2021.
Dalam surat tersebut tertulis besaran UMK Surabaya masih yang paling besar dari kabupaten/kota lainnya yakni senilai Rp 4.375.479. Disusul Kabupaten Gresik senilai Rp 4.372.030 dan Kabupaten Sidoarjo senilai Rp 4.368.581.
Sementara itu untuk kawasan Malang Raya UMK tertinggi masih dipegang oleh Kabupaten Malang sebesar Rp 3.068.275 lalu disusul Kota Malang senilai Rp 2.994.143 dan Kota Batu Rp 2.830.367.
Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja (DPMPTSP-TK) Kota Batu, Muji Dwi Leksono menyatakan, besaran UMK Kota Batu yang telah direstui oleh Gubernur Khofifah itu sesuai dengan usulan yang disampaikan oleh Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko.
“Usulan yang disampaikan Walikota merupakan hasil musyawarah dengan Dewan Pengupahan Kota Batu. Dari hasil musyawarah itu nilai UMK Kota Batu mengalami kenaikan 0.37 persen atau Rp 10.565,” beber Muji usai melakukan sosialisasi UMK Kota Batu tahun 2022, Rabu (1/12/2021).
Dia menjelaskan, dalam melakukan penetapan UMK tersebut pihaknya berlandaskan Peraturan Presiden (PP) 36 Tahun 2021 tentang pengupahan. PP tersebut merupakan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja. Dalam perhitungan kenaikan UMK pihaknya melakukan perhitungan secara manual dan melalui aplikasi.
“Berdasarkan PP tersebut, terdapat dua indikator yang menjadi dasar pertimbangan kenaikan UMK. Indikator pertama adalah pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Jatim. Karena inflasi di Jatim lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, sehingga yang diambil yang tertinggi, yakni inflasi,” jelas Muji.
Lebih lanjut, meski hanya mengalami kenaikan UMK Rp Rp 10.565 hingga saat ini tak ada tuntutan dari buruh di Kota Batu terhadap keputusan tersebut. Hal itu disambut positif pihaknya, karena secara otomatis akan berdampak pada stabilitas perekonomian daerah.
“Jika situasinya kondusif seperti ini, antara perusahaan dan pekerja bisa lebih baik lagi. Selain itu, dalam pengambilan keputusan ini kami juga tidak memihak antara keduanya. Kami hanya mewanti-wanti jangan sampai ada PHK,” ujar dia.
Disisi lain, menindas putusan MK perihal UU Omnibuslaw, Pemkot Batu masih akan menanti keputusan lebih lanjut. Karena menurutnya, pemerintah daerah hanya mengikuti keputusan dari pemerintah pusat.
“Kami sifatnya wait and see karena ini pendapat hukum yang luar biasa. Ada bahasa bersyarat itu tadi. Jadi sepanjang dua tahun ini kami tunggu, perubahan-perubahan apa yang berubah. Kami di daerah patuh,” tuturnya.
Oleh karena itu, pihaknya masih menggunakan mekanisme pengupahan dengan tetap menggunakan UU Omnibuslaw karena masih belum ada perubahan lebih lanjut.
Sementara itu, Penasihat dan Bagian Hukum SPSI Kota Batu, Heru Subagyo mendorong agar pengusaha benar-benar menerapkan keputusan yang telah ditetapkan oleh Gubernur. Karena selama ini, pihaknya banyak menemukan perusahaan yang tidak menaati aturan pengupahan.
“Kenaikan yang jumlahnya tak terlalu banyak ini, kami rasa tak jadi masalah untuk perusahaan. Maka dari itu kami berharap, perusahaan bisa konsekuen dengan besaran UMK yang telah ditetapkan,” tegas Heru.
Untuk informasi, UMK Kota Batu pada tahun 2018 lalu sebesar Rp 2.384.168 lalu naik menjadi Rp 2.575.616 pada tahun 2019. Setelah itu naik lagi pada tahun 2020 menjadi Rp 2.794.801 dan naik Rp 25 ribu pada 2021 menjadi Rp 2.819.801. (yan)