AMEG – Mengapa Menteri Pertahanan Prabowo Subijanto disorot habis? Soal anggaran pembelian senjata Rp 1.750 triliun itu?
Ada dua jawaban.
Pertama, dari para pengkritik. Yang paling depan seorang wanita: Connie Rahakundini. Yang belakangan namanyi viral.
Video yang dia buat beredar luas. Prabowo ”habis” di video itu.
Saya juga menghubungi salah satu dari pengkritik itu. Prabowo dianggap salah. Mengapa ia menunjuk PT TMI untuk pengadaan senjata. Apalagi direksi dan komisaris perusahaan tersebut adalah juga para pimpinan Partai Gerindra. Prabowo adalah ketua umum partai itu.
Kedua, keterangan dari orang dekat Prabowo. Saya juga menghubungi salah satu dari mereka. Prabowo dianggap hanya jadi sasaran balas dendam. Itu karena Prabowo akan menghabisi rejeksi para pedagang senjata. Mafia senjata pun bergerak. Prabowo harus dihabisi.
Pembelaan yang paling telak datang dari aktivis medsos: Ninoy Karundeng. Connie dihabisi total di situ. Luar dalam.
Sampai soal pribadi. Connie dianggap bagian dari mafia itu.
Menurut Ninoy, kebijakan Prabowo itu sebenarnya misi Presiden Jokowi sendiri.
Semula saya ragu apakah Ninoy Karundeng itu benar-benar ada orangnya. Cara ”menghabisi” Connie luar biasa. “Ada. Ia teman baiknya Bang Birgaldo,” ujar teman yang memang dekat dengan nama itu. Birgaldo adalah aktivis medsos yang belum lama meninggal dunia. Ia dianggap pendukung berat Jokowi di medsos yang tulus. Hidupnya sederhana.
Tidak dapat jabatan komisaris. Ketika meninggal ia sampai mendapat simpati besar. Mereka kumpul-kumpul uang untuk Birgaldo. Dapat Rp 1 miliar lebih.
Mengapa untuk misi mulia itu –kalau memang ada– para direksi dan komisaris tidak diminta berhenti dulu dari partai?
“Mungkin, untuk misi yang besar, Pak Prabowo hanya punya sedikit orang yang benar-benar bisa beliau percaya,” ujar orang dekat itu.
Kalau pun itu benar, komunikasi politiknya buruk: kesannya Prabowo lagi cari uang untuk biaya partainya. Siapa pun sedang senang mengaitkan semua kejadian dengan persiapan Pemilu 2024.
Saya sendiri sudah tahu siapa itu PT TMI –Teknologi Militer Indonesia. Dari informasi media. Tapi saya belum tahu persis di mana PT TMI akan berperan dalam pengadaan senjata: pembeli? Broker? Konsultan? Integrator?
Saya pun mereka-reka pikiran sendiri. PT TMI tidak mungkin sebagai pembeli, apalagi pembeli tunggal. Itu jelas-jelas melanggar. Juga tidak mungkin sebagai broker. Itu juga jelas-jelas salah.
Sebagai konsultan? Juga salah. Ada prosedur tender untuk menunjuk konsultan.
Satu-satunya yang mungkin, saat ini, adalah sebagai integrator.
Bisakah perusahaan swasta menjadi integrator pembelian senjata?
Jalan ke sana memang sudah terbuka. Sekarang ini. Sejak UU Cipta Kerja disahkan.
Dulu, peran integrator itu harus BUMN. Berdasar UU Pertahanan. Tapi sejak ada UU Omnibus, keharusan itu tidak ada lagi.
Apakah benar PT TMI ”hanya” sebagai integrator? Atau memang broker? Bahkan pembeli?
Itulah yang harus dijelaskan. Terbuka saja.
Mungkin Menhan memang memerlukan ”kendaraan” untuk mengontrol visi dan misinya. Maka ia gunakan yayasan milik kementerian pertahanan sebagai alat. Yayasan itulah yang kemudian membentuk PT TMI –dengan kepemilikan saham 99,9 persen. UU PT melarang pemegang saham tunggal. Maka 0,1 persen saham PT TMI dipegang Koperasi Kementerian Pertahanan –kelihatannya sekadar untuk memenuhi ketentuan UU PT.
Meski PT itu dimiliki oleh Yayasan Kementerian Pertahanan, secara hukum, tetap saja PT itu dianggap perusahaan swasta. Yang tidak mudah dilibatkan dalam pengadaan barang dari APBN. Agar tidak melanggar mungkin perlu ada Perpres untuk memayunginya sebagai integrator.
Tapi untuk menjadi integrator kan harus punya pabrik. Yang bisa mengintegrasikan berbagai bagian menjadi satu produk senjata. Atau TMI akan bekerja sama dengan pabrik senjata.
Maka tetap belum jelas akan sebagai apa PT TMI.
Masih ada pekerjaan lain yang harus dibereskan: bagaimana dengan keberadaan lembaga KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan). Yang dijamin oleh UU Pertahanan. Yang tidak dihapus oleh UU Cipta Kerja.
Ketua KKIP itu presiden. Ketua hariannya: Menhan. Wakil ketuanya: Menteri BUMN. Anggotanya: Menkeu, Menristek, dan beberapa menteri lagi.
Apakah keberadaan KKIP dianggap tidak relevan lagi? KKIP dianggap tidak bisa memberantas mafia? Terbukti masih ada kasus pembelian pistol dari luar negeri, dengan harga luar negeri, padahal Pindad sudah bisa membuatnya dengan harga lebih murah?
Juga masih sulit dilupakan: kok ada pembelian helikopter dulu itu. Yang hebohnya berbulan-bulan itu.
Mungkin tidak cukup Perpres untuk menghilangkan peran KKIP.
Masih begitu banyak pekerjaan. Padahal masa kerja sebuah pemerintahan itu tidak lama. Hanya lima tahun. Sekarang tinggal tiga tahun. Masih begitu banyak kerikil yang harus disingkirkan. Lalu kapan bisa dikerjakan.
Mafia sering sabar menunggu selesainya masa jabatan seseorang. (*)