Batu – Penerapan teknologi tipping box di hotel-hotel Kota Batu masih jauh dari maksimal. Sejatinya, pemasangan alat itu berfungsi memperkecil kebocoran pajak. Bahkan muncul anggapan, ada yang bermain di belakang alat tersebut. Lihat saja contohnya, besaran pajak hotel masih kalah jauh dibanding dengan pajak cafe.
Itu diungkapkan anggota Komisi B DPRD Kota Batu, Syaifudin. Setelah hearing bersama dengan Bapenda (Badan Pendapatan Daerah) Kota Batu. Kamis (18/2) sore.
“Masak pajak hotel kalah jauh dari pajak cafe. Satu bulan bisa menyetorkan pajak hingga Rp 40 juta. Lah ini, ada hotel bintang 4. Satu bulannya hanya menyetorkan pajak sebesar Rp 18 juta. Ini ‘kan sangat tak masuk akal. Padahal kalau dilihat hotel itu juga cukup ramai,” tukas Syaifudin.
Pihaknya berkunjung ke Solo beberapa waktu lalu. Diketahui, pajak salah satu hotel per bulan, bisa mencapai Rp 300 – Rp 350 juta. Meskipun masih pandemi, dan kondisi di sana sangat sepi.
“Ini ‘kan sangat tidak masuk akal. Kondisi Kota Batu dimasa pandemi ini, tidak terlalu buruk. Tapi pajak yang masuk hanya sebesar itu,” ujarnya.
Ditarik ke belakang, sebelum pandemi. Hotel di Kota Solo itu, bisa setor pajak hingga Rp 700 – Rp 750 juta per bulan. Jauh dengan Kota Batu. Padahal pengunjungnya mencapai 7,2 juta wisatawan. Setoran pajak hotel tertinggi hanya sekitar Rp 150 juta per bulan.
“Hal ini ‘kan patut dicurigai. Ada yang bermain di belakang itu,” katanya. Evaluasinya, pada sebuah hotel. November 2020, saat itu dipakai sekitar 50 anggota dewan menginap. Karena ada kunjungan kerja di Kota Batu. Namun, datanya tak masuk di laporan. Bahkan tak ada catatan di dalam tipping box.
“Mereka mengatakan, pembayaran akan dilakukan setelah tiga bulan. Nyatanya, hingga saat ini, kami belum menerima datanya. Maka dari itu, patut dicurigai,” tegasnya.
Uang hasil pajak ini, adalah uang rakyat. Maka dari itu, harus diperhatikan seksama. Jangan hanya menggembar-gemborkan tingginya kunjungan wisatawan di Kota Batu yang mencapai 7,2 juta wisatawan, tapi PAD nya kecil.
“Tahun 2019, angka kunjungan 7,2 juta wisatawan. Tapi nilai PAD hanya Rp 200 miliar. Itu kecil sekali. Kalah dengan Kota Madiun yang sama-sama kota kecil. Mereka juga tak punya tempat wisata sebanyak Kota Batu. Tapi PAD lebih tinggi, Rp 250 miliar,” bebernya.
Ada apa dibalik ini?. Siapa yang main-main di belakang ini?. Pihaknya juga sudah hearing dengan BKD, yang kini berubah jadi Bapenda, beberapa bulan lalu. Ditemukan data yang tak sama. Antara jumlah tamu dan hasil pajaknya. Bahkan data di dalam tipping box juga tak sinkron.
“Untuk masalah itu, entah dari oknum yang melakukan. Atau dari sananya. Kami masih belum tahu. Tapi jika saya lihat, dalam hal ini ada unsur kesengajaan,” tandasnya.
Sementara itu, Kabid Pendataan dan Pelayanan Bapenda Kota Batu, Wiwit Ananda menjelaskan ketidaksesuaian data. Pada hotel yang besar, pihaknya sudah memasang tipping box.
“Jika ada ketidak sesuaian, maka kami akan mencari tahu lebih dulu. Maka dari itu kami akan melakukan rekonsilasi dengan pihak hotel. Untuk mencari ketidaksesuaian itu, letaknya dimana,” ujarnya.
Tujuannya agar tak langsung serta merta menjudge. Maka dari itu, pihaknya akan mencari lebih dulu kesalahannya dimana. Apakah kesalahannya ada di tipping box atau lainya. (ano/jan)