Oleh: Dahlan Iskan
AMERIKA masih tetap Amerika: dalam hal penegakan hukum. Jaksa Agung Merrick Garland tidak sungkan pada presiden yang mengangkatnya: Joe Biden. Apalagi takut. Garland telah mengangkat jaksa khusus untuk mulai memeriksa perkara anak sulung Presiden Biden: Hunter Biden.
Cara ini menarik. Kejaksaan Agung tidak perlu mengusut sendiri. Tidak ada kerikuhan birokrasi.
Jaksa Agung cukup menunjuk seorang ahli hukum untuk menjadi jaksa khusus. Yakni khusus untuk mengusut perkara anak sulung tersebut. Sang ahli hukum dibebaskan dari pekerjaan lainnya. Fokus. Tidak dicampuri. Tidak ada yang boleh cawe-cawe. Diberi kebebasan mengangkat penyidik sendiri. Boleh mengangkat staf sendiri. Diberi kebebasan untuk berkantor di mana pun (termasuk kalau harus menyewa).
Diberi anggaran yang cukup untuk menyelesaikan tugasnya. Termasuk mengatur apakah perlu membentuk dewan juri atau tidak. Lalu memutuskan apakah perkara tersebut layak diteruskan ke pengadilan atau tidak. Kalau pun akhirnya dibawa ke pengadilan maka ia yang akan menjadi jaksa penuntutnya.
Ahli hukum yang ditunjuk menjadi jaksa khusus tersebut bernama David Charles Weiss. Umur 66 tahun. Atau 67. Tidak banyak yang tahu siapa Weiss. Ia adalah jaksa agung untuk negara bagian Delaware yang pengangkatannya dulu diusulkan oleh Presiden Donald Trump.
Delaware adalah kampung halaman Biden. Weiss sendiri lahir di Pennsylvania, tidak jauh dari Delaware tapi sudah menganggap dirinya sekampung dengan Biden. Hanya beda partai. Ia anggota Partai Republik. Selama jadi jaksa Weiss menangani banyak perkara pidana dan pidana khusus kerah putih. Berarti cocok dengan tuduhan yang akan dikenakan kepada si anak sulung: mendapat keuntungan dengan cara memanfaatkan statusnya sebagai anak waktu itu) Wakil Presiden Joe Biden.
Selama ini Donald Trump sudah selalu menuduhkan itu: Si anak sulung mengeruk uang dari Ukraina dan Tiongkok. Lalu ada masalah pajak. Juga masalah izin kepemilikan senjata.
Tentu Trump menyambut putusan Garland itu dengan gegap gempita. Selama ini ia merasa diperlakukan tidak adil. Anda sudah tahu: Trump juga lagi diperiksa oleh jaksa khusus seperti itu. Yakni dalam perkara menyembunyikan dokumen-dokumen rahasia negara di rumah besarnya di Mar-a-Lago di Florida.
Jaksa khusus tersebut bernama Jack Smith. Smith sudah melakukan penyelidikan. Sudah membentuk dewan juri. Dewan itu juga sudah memutuskan: Trump terbukti melakukan 36 tindak pidana yang terkait dengan dokumen rahasia.
Trump tetap pada pendiriannya: tidak melakukan kesalahan. Sebagai presiden ia punya wewenang memutuskan mana dokumen yang rahasia dan mana yang tidak. Ketika ditanya mana surat keputusannya, Trump mengatakan keputusan itu ada di pikirannnya dan di tindakannya.
Maka proses pengadilan pada Trump akan dilakukan. Waktunya masih belum ditetapkan. Trump masih berusaha menawar: agar jadwal peradilannya disesuaikan dengan kegiatan kampanyenya sebagai calon presiden.
Trump juga lagi merancang strategi khusus: agar peradilan itu sekaligus sebagai arena kampanye yang efektif. Agar proses peradilan itu justru membuat ia lebih populer dan menang. Berarti peradilan Trump nanti akan sangat meriah.
Belum lagi soal rahasia negara diadili, Trump juga harus menghadapi pengusutan soal keterlibatannya di urusan hasil Pemilu 2020. Yakni ketika supporter-nya menyerbu dan menduduki gedung DPR/MPR. Ini kejahatan melawan konstitusi. Kalau Trump kelak dinyatakan bersalah ia tidak memenuhi syarat lagi maju sebagai calon presiden.
Masih ada beberapa perkara lagi yang dihadapi Trump. Tapi semuanya soal politik. Bisa saja Trump justru berkibar. Selama ini pun Trump selalu mendengungkan bahwa ia korban kriminalisasi politik.
Sebaliknya, jika jaksa khusus Weiss berhasil membuktikan si anak sulung bersalah, Biden lebih tercemar. Biar pun yang melakukan anaknya. Urusannya soal uang. Soal korupsi.
Maka kini dua calon utama presiden Amerika lagi menghadapi persoalan citra di mata publik.
Tanpa itu pun dua-duanya tidak terlalu menarik, termasuk bagi partai masing-masing. Sudah terlalu tua.
Dan bagi mayoritas orang Amerika ada persoalan yang lebih penting: keduanya sudah terlalu berseberangan dalam ideologi. Kanan dan kiri. Trump terlalu kanan. Biden terlalu kiri.
Maka mulailah muncul calon alternatif seperti VivekRamaswamy. Dari Partai Republik. Muda. Kaya. Alirannya: tengah kanan. Kanan tapi tengah.
Bisa jadi nama Vivek akan melejit. Terutama setelah rating Ron de Santis macet di bawah Trump.
Pendukung Demokrat sendiri bisa memilih Vivek. Terutama setelah Biden tercoreng oleh si anak sulung.
Itulah Amerika. Di samping penegakan hukumnya tidak pandang bulu masyarakatnya sangat dewasa. Tidak mau terlalu kanan. Juga tidak mau terlalu kiri. (*)