
Johan Wahyudi, S.IP., MA., pakar ilmu politik dan pengajar mata kuliah Hubungan Sipil-Militer Universitas Brawijaya (UB). (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI oleh DPR pada tengah pekan kemarin memicu gelombang demontrasi di berbagai daerah.
Eskalasi aksi terus meningkat hingga Senin (24/3/2025) malam, tentu dengan begini, kekhawatiran publik terhadap potensi tumpang tindih kewenangan TNI di ranah sipil pasti tinggi.
Apalagi juga beredar kabar bahwasanya di surabaya beberapa saat lalu dua orang wartawan menjadi korban tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan polisi saat meliput aksi penolakan revisi Undang-Undang TNI di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin, 24 Maret 2025.
Terkait hal ini, Johan Wahyudi, S.IP., MA., pakar ilmu politik dan pengajar mata kuliah Hubungan Sipil-Militer Universitas Brawijaya (UB), turut angkat bicara.
Ia menyesalkan tindakan represif aparat terhadap demonstran dan mengecam kekerasan yang terjadi di lapangan.
“Saya tentu saja prihatin dengan korban unjuk rasa yang mengalami kekerasan dari aparat. Saya juga mengecam tindakan aparat yang menggunakan kekerasan. Apa yang dilakukan aparat saat ini masih menunjukkan metode lama dalam menangani pengunjuk rasa,” ujarnya.
Aparat negara seharusnya belajar dari kesalahan di masa lalu. Ratusan orang telah menjadi korban dalam demonstrasi menentang kebijakan yang dianggap merugikan rakyat.
“Aparat negara seolah tidak mau belajar dari kesalahan sebelumnya. Seharusnya, potensi anarki dalam demonstrasi sudah bisa dimitigasi agar dapat diantisipasi secara komprehensif,” lanjut pengajar di Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB.
Johan Wahyudi menegaskan bahwa kekerasan aparat terhadap demonstran merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang nyata.
Ia menyebutkan bahwa tindakan represif ini bertentangan dengan berbagai regulasi yang mengatur perlindungan hak sipil dan politik warga negara.
“Kekerasan yang dilakukan oleh polisi maupun TNI terhadap demonstran seharusnya tidak boleh terjadi jika aparat negara telah memahami pendekatan humanis yang selama ini dikampanyekan. Menyampaikan aspirasi dan pendapat adalah hak warga negara yang dilindungi konstitusi,” tegasnya.
Johan menekankan bahwa aparat keamanan seharusnya tidak menggunakan pendekatan represif dalam menangani demonstrasi.
Sebaliknya, mereka harus melindungi dan mengayomi masyarakat yang menyampaikan aspirasi, bukan malah bertindak keras terhadap mereka.
“Indonesia adalah negara demokrasi. Tugas aparat adalah melindungi warga negara, bukan justru memukuli mereka,” urainya.
Situasi di lapangan masih dinamis, dengan aksi-aksi protes yang terus berlangsung di berbagai daerah.
Publik kini menantikan langkah konkret dari pemerintah dan aparat keamanan dalam menangani aspirasi masyarakat dengan cara yang lebih demokratis dan tanpa kekerasan. (M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)