Malang Post – Organisasi Muhammadiyah menyikapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yakni, melarang semua Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) digunakan sebagai tempat kegiatan kampanye politik.
Secara khusus, Pimpinan Muhammadiyah mengeluarkan surat edaran resmi terkait Kampanya di Lembaga Pendidikan.
Sikap PP Muhammadiyah ini menyusul dikeluarkannya Amar Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang tetapkan pada tanggal 15 Agustus 2023. Diantaranya, berbunyi membolehkan kegiatan kampanye di lembaga pendidikan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Keputusan tersebut juga berlaku untuk pemilu legislatif dan eksekutif tahun 2024.
Melalui surat yang ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir, MSi dan Sekretaris Umum PP, Prof Dr Abdul Mu’ti, M.Ed, PP Muhammadiyah menegaskan, agar seluruh amal usaha Muhammadiyah baik rumah sakit, masjid, lembaga pendidikan, dan lainnya, tidak dipergunakan sebagai arena kampanye baik yang bersifat pengumpulan massa, diskusi politik, dan berbagai bentuk kampanye lainnya.
“Kampanye politik di amal usaha Muhammadiyah, khususnya lembaga pendidikan, berpotensi menimbulkan masalah (mengganggu) kegiatan akademik, memecah belah sivitas akademika, dan berbagai ekses negatif lain yang bisa ditimbulkan dari kegiatan kampanye politik,” demikian ditegaskan Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, melalui surat yang dikeluarkannya, belum lama ini.
PP Muhammadiyah menghormati keputusan MK. Meski demikian, kampanye politik harus tetap menghadirkan demokrasi yang bermartabat, mengutamakan kepentingan umum, memperkuat persatuan, serta tidak berdampak negatif, yang dapat mengoyak kesatuan nasional dan mengorbankan kepentingan strategis bangsa, khususnya di bidang pendidikan.
Menanggapi hal ini, Ketua Pimpiman Daerah Muhammadiyah Kabupaten Malang, H Nurul Humaidi menegaskan, Muhammadiyah tidak memperkenankan lembaga pendidikan, mulai jenjang sekolah sampai perguruan tinggi, menjadi ajang kampanye dan politik praktis.
“Muhammadiyah tidak memperkenankan sekolah Muhammadiyah hingga perguruan tinggi dijadikan ajang (kampanye) politik praktis. Karena bisa mengganggu stabilitas di dalamnya, dan supaya tidak terombang-ambing (dukung mendukung). Ini yang harus dijaga,” tandas Nurul Humaidi, Kamis (19/10/2023) siang.
Dikatakan, dengan tidak diperkenankannya kampanye politik di lembaga pendidikan dan AUM lainnya ini, menunjukkan sikap netralitas dan jaga jarak Muhammadiyah di tahun politik ini.
Nurul menegaskan, dalam konteks pendidikan politik, bukan merupakan hal yang haram bagi Muhammadiyah. Akan tetapi, ini sebatas untuk memberikan pengertian dan pengetahuan pada pelajar dan mahasiswa, terkait perpolitikan di Tanah Air.
Selebihnya, politik praktis yang menyeret pada kondisi dukung mendukung, menurutnya itu yang oleh Muhammadiyah jangan sampai masuk ke sekolah-sekolah.
“Jika diberi ruang (kampanye) di lingkungan pendidikan, maka dimungkinkan akan memunculkan perpecahan di kalangan warga lembaga sekolah itu. Karena, satu mendukung dan yang lain mendukung calon lainnya,” demikian pria yang juga kelahiran Madura ini. (Choirul Amin)