
Malang Post – Kerjasama antara Yayasan Museum HAM Omah Munir (MHM), dengan Pemkot Batu dalam hal ini Dinas Pariwisata (Disparta) resmi kandas. MHM memilih menyudahi kerjasama terkait penyelenggaraan Museum HAM di Kota Batu, karena terdapat sejumlah kejanggalan.
Dalam kerjasama itu, MHM banyak menemukan inkonsistensi, kejanggalan dan itikad tidak biak. Hal tersebut ditemui sejak disepakatinya perjanjian kerjasama (PKS), pengelolaan Museum HAM bersama Pemkot Batu pada 18 November 2022 lalu.
Ketua Yayasan MHM, Suciawati menyatakan, sejak PKS itu disepakati. Tidak ada langkah konkret dari Pemkot Batu, untuk merujuk isi dari PKS tersebut. Alih-alih merealisasikan sistem tata kelola yang baik. Pemkot Batu malah melakukan pengadaan barang, yang tidak sesuai peruntukan kemajuan pendidikan HAM.
“Bahkan pengadaan tersebut juga tidak melalui hasil koordinasi dan pemberitahuan dengan Yayasan MHM. Selain itu, saat dimintai tanggung jawab. Pemkot Batu diduga tidak transparan,” tegas Suciawati.
Ketidak transparan itu, Suciawati mencontohkan, misalkan saat ada pengajuan anggaran pembangunan wahana edukasi anak. Pihaknya mengajukan anggaran Rp1,5 miliar. Namun oleh dinas terkait ditulis Rp13 miliar. Kemudian pihaknya juga banyak menemui, catatan transparansi belanja yang tidak jelas.
“Dari sekian banyak kejanggalan yang kami temui itu. Kami memutuskan mengakhiri kerjasama ini. Sebab jika masih terlibat di museum itu, kami juga punya tanggungjawab publik yang besar,” tegas dia.
Menurut istri Mendiang Munir Said Thalib itu, dengan adanya temuan-temuan tersebut, sangat riskan bagi pertanggungjawaban publik lembaga penegak HAM seperti Yayasan MHM. Terlebih dia menilai Pemkot Batu tidak punya niatan tulus, untuk ikut terlibat dalam upaya pemajuan edukasi HAM di Kota Batu maupun Indonesia.
Lebih lanjut, dengan berakhirnya kerjasama tersebut, Museum HAM Kota Batu, yang ada di Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu dilarang memakai nama Museum HAM Munir. Sebab nama Munir adalah milik masyarakat.
“Apabila masih tetap memakai nama Munir, kami dari Yayasan MHM tidak ikut bertanggungjawab. Atas semua penggunaan, penyelenggaraan maupun anggaran di gedung tersebut. Secara resmi, kami menegaskan tidak terlibat apapun di gedung itu,” imbuh Suciawati.
Sebenarnya, sebelum pihaknya memilih mengakhiri kerjasama tersebut. Yayasan MHM telah melakukan sejumlah upaya. Agar gedung yang telah dibangun bisa segera beroperasi.
Usaha-usaha tersebut, diantaranya seperti mengajukan surat somasi sebanyak 2 kali sejak Februari 2023. Namun tidak ada tindak lanjut berarti dari somasi yang dilayangkan itu. Tindak lanjutnya baru direspon pada September 2023.
“Tindak lanjutnya juga hanya sebatas membicarakan dana. Karena itu, kami menilai Pemkot Batu tidak punya itikad baik. Ditambah lagi dengan banyaknya inkonsistensi yang kami temui. Daripada kami berurusan dengan hal-hal yang urusannya substantif. Maka kami putuskan untuk sekalian mengakhiri kerjasama ini,” ujarnya.
Sebagai informasi, museum tersebut dibangun di atas lahan milik Pemkot Batu seluas 2.200 meter persegi, dengan nilai anggaran Rp8,2 miliar dari APBD Provinsi Jatim. Proyek tersebut mulai dibangun tahun 2019 dan tuntas dibangun bulan Maret 2021. Saat ini, dinas pengelolanya adalah Dinas Pariwisata.
Sebagai informasi, Munir Said Talib dikenal sebagai aktivis yang sangat militan dalam memperjuangkan isu-isu HAM. Pada tahun 1998-an, dia dikenal sebagai Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Selain KontraS, dia juga dikenal aktif di berbagai organisasi HAM lain.
Terakhir dia diketahui menjabat sebagai Direktur Indonesia Human Right Monitor (Imparsial). Imparsial menjadi tempat terakhirnya, sebelum akhirnya dibunuh dalam sebuah penerbangan pada tahun 2004 silam.
Kala itu, Munir tengah menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam untuk melanjutkan pendidikan. Munir kemudian meregang nyawa dalam perjalanan tersebut, karena seseorang menuangkan zat arsenik ke dalam minumannya.
Sekalipun telah tiada, nama Munir tidak sirna begitu saja dalam upaya penegakan HAM di Indonesia. Dari tahun ke tahun, aktivis HAM di Indonesia terus mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Munir. Sebab, pembunuhan terhadap aktivis atau pembela HAM merupakan ancaman serius terhadap upaya penegakkan HAM di Indonesia.
Selain melakukan advokasi dan tuntutan untuk menyelesaikan kasus Munir, beberapa aktivis HAM juga menginisiasi berbagai hal untuk merawat ingatan mengenai Munir.
Sementara itu, Kepala Disparta Kota Batu, Arief As Siddiq saat dikonfirmasi, tentang pencabutan kerjasama antara Yayasan MHM dengan Pemkot Batu dalam hal ini dinasnya. Kemudian langkah apa yang akan dilakukan oleh pihaknya. Arief belum memberikan keterangan secara resmi. (Ananto Wibowo)