Malang Post – Surat Edaran (SE) Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas yang mengatur pedoman penggunaan pengeras suara atau toa di masjid dan mushalla mendapat respon yang kontroversial dari berbagai kalangan. Disusul pernyataannya dalam sebuah wawancara dengan media massa tentang analogi suara adzan dengan gonggongan anjing.
Bagaimana sesungguhnya persoalan ini harus didudukkan secara proporsional sehingga tidak menambah kegaduhan di negeri ini?
SE tersebut sesungguhnya hendak meneguhkan kembali bahwa Kementerian Agama yang memiliki bidang garap pembinaan umat beragama bertanggung jawab mewujudkan kehidupan yang harmonis antar umat beragama dalam masyarakat majemuk ini.
Bahkan sesuai dengan program Presiden RI, yang tertuang dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024) bahwa Pemerintah RI memiliki empat program prioritas: prioritas pertama adalah revolusi mental dan kebudayaan nasional; perioritas kedua adalah meningkatkan pemajuan dan pelestarian kebudayaan; prioritas ketiga adalah memperkuat moderasi beragama; dan perioritas keempat adalah meningkatkan literasi, inovasi dan kreativitas.
Nah tentu kementerian agama memiliki tanggung jawab khusus dalam mensukseskan dua program besar ini yaitu, revolusi mental dan moderasi beragama. Dan ini tengah berlangsung dilakukan melalui program pelatihan moderasi beragama di satker-satker kementerian agama dan pendirian Rumah Moderasi Beragama (RMB) di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN). Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020, bahwa kementerian agama memiliki visi: menjadikan
“Kementerian Agama yang profesional dan andal dalam membangun masyarakat yang saleh, moderat, cerdas dan unggul untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong royong”.
Dan misinya adalah: meningkatkan kualitas kesalehan umat beragama; memperkuat moderasi beragama dan kerukunan umat beragama; meningkatkan layanan keagamaan yang adil, mudah dan merata; meningkatkan layanan pendidikan yang merata dan bermutu; meningkatkan produktivitas dan daya saing pendidikan; memantapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Jika kemudian diterbitkan surat edaran (SE) untuk mengatur penggunaan pengeras suara di masjid atau mushalla ini sesungguhnya merupakan salah satu saja dari implementasi mewujudkan misi ketertiban dan ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat yang senyatanya plural ditinjau dari berbagai aspeknya, termasuk kehidupan beragama. Secara objektif, memang penggunaan pengeras suara di masjid atau mushalla selama ini memang beragam.
Ada yang melebihi waktu dan menimbulkan kegaduhan, ada yang memang proporsional. Toh hal ini juga sudah sejalan dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dilaksanakan pada Tahun 2021 yang lalu. Substansinya juga sudah dikomunikasikan dengan Majelis Ulama Indonesia serta didiskusikan dengan para tokoh agama, yang merupakan bagian dari upaya mewujudkan kemaslahatan dalam penyelenggaraan aktivitas ibadah.
Siapapun dari kalangan muslim paham bahwa adzan merupakan tanda waktu masuk shalat dan menyeru sesama umat Islam untuk melaksanakan shalat, baik berjamaah maupun sendiri-sendiri. Dan inilah substansinya, mungkin jika ditambah fungsi lain, syiar. Namun, bahwa seruan dan peringatan itu memiliki aturan yang berkaitan dengan kehidupan sosial di sekitarnya. Maka jika kemudian adzan maupun puji-pujian dikumandangkan secara proposrsional, kontekstual dan toleran, maka akan menjadi bijaksana dan menyejukkan.
Terkait dengan anggapan bahwa Menag telah membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing itu, terlalu jauh memaknainya. Bahkan terkesan mengada-ada, karena yang dimaksud jauh dari makna substantif itu. Karena, di saat awal usai diamanahi oleh Presiden di istana, ia sudah berkomitmen untuk melakukan tiga program penting. Yaitu: pertama, akan menempatkan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi, tidak menjadikan agama sebagai alat politik (depolitisasi agama).
Agama harus memberi nilai kehidupan berbangsa dan bernegara; kedua, akan memelihara persaudaraan multi aspek yaitu: ukhuwwah islamiyyah, ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah basyariyyah; ketiga, akan memajukan pendidikan agama dan pondok pesantren.
Pertama, agama harus dijadikan sebagai inspirasi dan memberikan nilai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan sebaliknya agama dijadikan sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Pemikiran ini diilhami oleh tokoh sentralnya, Gus Dur yang selalu konsisten menjadikan agama sebagai tatanan nilai bukan institusi itu sendiri. Maka, Islam harus dijadikan sebagai tata nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, memelihara ukhuwwah. Dalam rangka membina dan memlihara kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang plural ini, maka perlu diupayakan melalui berbagai cara dan strategi. Antara lain dengan memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide.
Salah satu pranata agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program pemerintah tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan pengaruh yang besar di tengah-tengah masyarakatnya. Karena mereka mempunyai berbagai kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, program ikatan persaudaraan (ukhuwwah) ini, baik ukhuwwah Islamiyyah, ukhuwwah basyariyyah maupun ukhuwwah wathaniyyah adalah sangat diperlukan dalam memelihara kesatuan dan persatuan bangsa.
Ketiga, memajukan pendidikan agama. Orientasi pendidikan agama tidak cukup hanya menyangkut hal-hal luar seperti upacara, ritus, simbol-simbol dan sederet kesalehan ritual-formalistik lainnya.
Termasuk bagaimana menjadikan institusi agama (masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya) sebagai paranata sosial yang memiliki fungsi harmonisme. Institusi dan pendidikan agama tidak bisa disamakan dengan segi-segi formal itu, meski ia juga merupakan bagian penting dalam agama. Namun pesan-pesan materi pendidikan agama harus mencerminkan sifat toleran, inklusif, dan humanis.Inilah saya kira tiga pesan penting Menteri Agama yang hendak dan sedang dilakukan. Wallahu a’lam bis-shawab. (*)
*Penulis: Prof. Dr. M. Zainuddin, MA, Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
*Editor: Januar Triwahyudi/M Abd Rahman Rozzi