
Persatuan Advokat Republik Indonesia usai silaturahmi Oro-oro Dowo, Klojen, Kota Malang. (istimewa)
Malang Post — Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Advokat Republik Indonesia (DPP PARI) menggelar silaturahmi antar advokat, Rabu (20/10/2021). Bertempat di RM Javanine, Jl Pahlawan Trip No.5, Oro-oro Dowo, Klojen, Kota Malang.
Tak sekedar silaturahmi dan temu kangen. Para advokat ini, juga mengkritisi pasal-pasal dalam RUU KUHP. Agenda ini bertujuan menyatukan pandangan setiap advokat perihal pembahasan sebelumnya. Terkait pasal 281 huruf b dan pasal 282 huruf b dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Lantaran dinilai mendiskriminasi profesi advokat dalam mengawal tegaknya hukum. Sangat bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Seperti yang disampaikan Lutfi Qomaruzzaman SH MH, Sekjen DPP Persatuan Advokat Republik Indonesia (PARI).
“Khususnya pasal 5 berbunyi, advokat sebagai profesi penegak hukum yang punya kedudukan sejajar dengan penegak hukum lain, baik Polri, kejaksaan, maupun kekuasaan kehakiman, hanya saja tugas dan kewenangannya yang berbeda. Kemudian, sangat bertentangan dengan pasal 16, bahwa Advokat dalam menjalankan profesinya baik di luar atau di dalam persidangan, tidak bisa dituntut pidana dan perdata,” tegasnya.
Ia melanjutkan, dalam pasal 28, Advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri. Artinya dalam mengawal tegaknya hukum tidak boleh diintervensi atau dicampuri oleh penegak hukum maupun eksekutif, legislatif dan yudikatif.
“Menanggapi pasal 281 huruf b RUU KUHP yang berbunyi, bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam persidangan. Menurut saya, pasal 281 huruf b ini, hanya sebatas norma kesopanan dan kalimatnya tidak ada unsur-unsur perbuatan pidana,” imbuhnya.
Ia juga mengutip pasal 282 huruf b yang berbunyi: mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, juru bahasa, penyidik, penuntut umum atau hakim dalam perkara dengan atau tanpa imbalan. Kalimat ini, belum ada unsur perbuatan pidana, namun seakan-akan profesi advokat sudah menjadi tertuduh. Padahal, RUU KUHP itu, pidana umum yang diawali kalimat barang siapa atau setiap orang sebagai subyek hukum yang melakukan perbuatan yang dapat diancam pidana.
“Menurut saya, ini pasal yang menjatuhkan martabat advokat sebagai salah satu catur wangsa penegak hukum. Dan, kurang menghormati advokat yang mempunyai predikat officium nobile, dan pasal tersebut dinilai sangat bertentangan dengan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang mengatur tentang proses penegakan hukum. Baik mengatur kewenangan, penyidik, jaksa penuntut umum, advokat sebagai penasehat hukum dan kekuasaan kehakiman dalam mengadili,” jelasnya.
Luthfi kembali menegaskan. Kekuasaan kehakiman sudah diatur di konstitusi. Pasal 24 UUD 1945, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan kemudian hakim dalam mengadili juga diatur dalam peraturan Mahkamah Agung, baik Perma (Peraturan MA) dan Sema (Surat Edaran MA). Sehingga, pasal 281 huruf b tidak ada ancaman hukuman, sebatas norma kesopanan.
“Semoga untuk pasal 282 huruf b RUU KUHP dicabut dan direvisi seperti usulan kami. Karena kalimat dalam pasal harus tersusun rapi dan unsur-unsur perbuatan pidananya jelas termuat secara normatif”, tegasnya
Yakni, barang siapa dengan sengaja mempengaruhi proses persidangan, dengan cara memberikan uang atau sesuatu barang, baik bergerak atau yang tidak bergerak, yang bertujuan untuk mempengaruhi proses hukum atau putusan atau untuk meringankan atau membebaskan dari segala tuntutan dan atau hukuman, baik secara langsung atau tidak langsung baik sendiri sendiri atau bersama-sama atau melalui perantaranya, diancam dengan pidana suap paling sedikit 5 tahun penjara.
“Ayat 1, jika si penerima suap berupa uang atau barang, baik benda bergerak atau tidak bergerak karena dalam jabatannya, maka diancam dengan pidana khusus, dengan pemberatan,” pungkasnya. (yan)