MALANG POST – Target Badan Gizi Nasional (BGN) agar seluruh dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kota Batu mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) pada November lalu meleset. Hingga pertengahan Desember ini, baru satu dapur SPPG yang dinyatakan lolos sertifikasi.
Dapur yang ‘pecah telur’ tersebut yakni SPPG Sulaiman Al Haj yang berlokasi di Kelurahan Dadaprejo, Kecamatan Junrejo. Sementara belasan dapur lainnya masih tertahan dalam proses penilaian administrasi dan teknis yang cukup ketat.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu Aditya Prasaja mengakui capaian tersebut masih jauh dari target awal. Meski begitu, ia tetap mengapresiasi satu dapur yang berhasil menuntaskan seluruh tahapan sertifikasi.
“Alhamdulillah, akhirnya pecah telur. Satu SPPG di Kota Batu sudah mengantongi SLHS. Harapannya ini bisa menjadi pemicu bagi dapur-dapur SPPG lainnya untuk segera menyusul,” ujar Adit, Minggu (21/12/2025).
Berdasarkan data Dinkes Kota Batu, dari total 19 dapur SPPG yang mengajukan sertifikasi, enam di antaranya diketahui belum beroperasi. Artinya, hanya 13 dapur yang aktif dan siap dinilai. Namun, realitanya mayoritas masih belum memenuhi standar minimal penerbitan SLHS.
Tenaga Sanitasi Lingkungan Ahli Muda Dinkes Kota Batu, Esty Setya Windari menjelaskan, bahwa proses sertifikasi SLHS tidak bisa dilakukan secara instan. Setiap dapur wajib melewati serangkaian tahapan Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) hingga uji laboratorium yang berlapis.

CEK DAPUR: Wakil Wali Kota Batu Heli Suyanto bersama stakeholder terkait saat melakukan pengecekan ke salah satu dapur SPPG di Kota Batu. (Foto: Ananto Wibowo/Malang Post)
Tahapan tersebut mencakup pemeriksaan sampel makanan, alat masak, kualitas air bersih, hingga pemeriksaan kesehatan penjamah makanan. Tak hanya itu, para penjamah juga wajib mengantongi sertifikat resmi sesuai ketentuan.
“Semua tahapan itu harus dilalui. Tujuannya agar hasil penilaian benar-benar kredibel dan sesuai standar keamanan pangan,” terang Esty.
Masalahnya, dalam asesmen awal, sebagian besar dapur belum mampu mencapai nilai ambang batas minimal 80. Kondisi tersebut membuat proses sertifikasi harus diulang dari awal, sesuai prosedur yang berlaku.
Kendala lain yang tak kalah krusial adalah lamanya proses uji laboratorium. Seluruh sampel dari dapur SPPG Kota Batu harus dikirim ke laboratorium di Kabupaten Malang. Di sisi lain, ratusan dapur SPPG di wilayah tersebut juga mengantre pemeriksaan serupa.
“Antrean sampel cukup panjang. Ini otomatis membuat waktu tunggu menjadi lebih lama,” imbuh Esty.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa kecepatan terbitnya SLHS sepenuhnya bergantung pada kesiapan masing-masing dapur dalam memenuhi persyaratan administrasi maupun teknis. Dinkes, kata dia, terus melakukan pendampingan dan percepatan, namun tetap berpegang pada prosedur.
“Kami terus mengakselerasi pendampingan. Tapi tahapan tidak bisa dipotong,” tegasnya.
Selama sertifikat belum terbit, Dinkes memastikan pengawasan tetap dilakukan secara ketat di seluruh dapur SPPG. Pemantauan dilakukan mulai dari proses pengolahan hingga penyajian makanan, guna menjamin keamanan pangan yang didistribusikan kepada masyarakat.
Sementara itu, Kepala Dapur SPPG Sulaiman Al Haj, Darma membenarkan bahwa proses penerbitan SLHS membutuhkan waktu dan konsistensi tinggi. Ia mengungkapkan pengajuan sertifikasi sudah dilakukan sejak September lalu.
“Hampir tiga bulan kami menjalani inspeksi dan uji laboratorium sampai akhirnya SLHS terbit. Prosesnya panjang, tapi memang harus dilalui,” tutupnya. (Ananto Wibowo)




