
Dr. Tatag Muttaqin, S.Hut., M.Sc., Dosen Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang. (Foto: Istimewa)
MALANG POST – Rehabilitasi hutan di Indonesia dinilai belum efektif. Penyebabnya bukan hanya pada kerusakan ekosistem yang semakin parah. Tetapi juga pada kegagalan pendekatan yang digunakan selama ini.
Menurut Dr. Tatag Muttaqin, S.Hut., M.Sc., dosen Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), masalah mendasarnya adalah ketidaktepatan strategi dalam perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi.
“Selama ini orientasinya masih pada kuantitas, bukan kualitas. Fokus pada berapa banyak pohon yang ditanam, bukan berapa yang hidup.”
“Ini menjadikan kesalahan dalam rehabilitas hutan. Rehabilitasi hutan tidak bisa dilakukan dengan pendekatan seremonial atau instan.”
“Perlu pemahaman ekologi dan historis suatu lahan. Tanpa itu, penanaman justru bisa memperparah kerusakan,” kata Tatag.
Menurut Tatag, reboisasi yang benar harus dimulai dari identifikasi jenis tanaman yang secara alami tumbuh di kawasan tersebut. Karena pada dasarnya semua lahan itu mempunyai sejarah.
Tidak bisa sembarangan menanam tanpa tahu tanaman apa yang cocok di sana sejak dulu. Contohnya di Batu, yang cocok merupakan pohon pinus dan ikaliptus, bukan sembarang jenis tanaman lain.
“Proses reboisasi idealnya mencakup lima tahapan dengan mengidentifikasi lahan dan vegetasi lokal, pemilihan bibit yang sesuai, perencanaan waktu tanam (idealnya saat musim hujan), penanaman, dan pemeliharaan jangka panjang minimal lima tahun.”
“Jika satu tahapan saja dilewati, maka keberhasilan sangat kecil. Banyak yang hanya berhenti di tanam saja. Setelah itu tidak ada perawatan. Akibatnya, tingkat kematian pohon sangat tinggi,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya seleksi bibit yang tepat. Bibit tidak hanya harus kuat secara fisik, tetapi juga harus sesuai dengan iklim, tanah, dan topografi setempat.
Dalam pemilihan bibit menentukan seluruh masa depan ekosistem hutan. Bibit yang tidak cocok akan gagal tumbuh, meski ditanam dalam jumlah banyak.
Maka menurutnya bukan soal berapa jumlahnya, tapi apakah cocok atau tidak dengan lokasi tanam.
“Dampak dari rusaknya hutan sudah terlihat jelas. Salah satu contohnya adalah penurunan drastis mata air di kawasan hulu Sungai Brantas.”
“Dulu ada lebih dari 700 mata air, sekarang tinggal sekitar 500. Ini alarm bahaya. Kalau hulu rusak, hilir akan kering. Ini akan berdampak langsung ke pertanian dan kehidupan masyarakat.”
Lebih lanjut, konversi hutan lindung menjadi lahan pertanian juga mengancam keanekaragaman hayati. Satwa dan flora endemik kehilangan habitat, dan beberapa di antaranya sudah terancam punah.
Ia menekankan bahwa rehabilitasi tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah atau lembaga. Masyarakat, termasuk anak muda, harus ikut terlibat.
“Minimal tanam satu pohon dalam hidup. Itu kontribusi nyata. Jangan hanya mengandalkan negara. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan adalah kunci.”
“Kalau mereka makmur, mereka akan menjaga hutan. Kalau tidak, mereka akan merambah karena butuh makan,” ucap Tatag.
Untuk itu, ia menekankan bahwa rehabilitasi hutan semestinya diarahkan kembali pada fungsi utamanya, yaitu sebagai bentuk perlindungan terhadap lingkungan dan manusia.
Ia menyampaikan bahwa hutan memiliki peran penting sebagai pelindung alami, dan kerusakan hutan dapat memicu berbagai bencana, memperburuk kondisi kemiskinan, serta memunculkan potensi konflik sosial.
Oleh karena itu, upaya rehabilitasi hutan menurutnya bukan lagi menjadi opsi, melainkan sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. (*/M Abd Rachman Rozzi-Januar Triwahyudi)