Oleh: Dahlan Iskan
BINGUNG. Begitu banyak teman saya yang kini bingung. Mereka pengusaha Tionghoa. Besar-besar. Dulu mereka rebutan paling dulu mendukung Ganjar Pranowo. Itu, antara lain, karena mereka melihat siapa di belakang gubernur Jateng itu: Presiden Jokowi.
Mereka ikut tegang ketika Megawati tidak segera merespons isyarat dari Jokowi itu. Apalagi, ketika PDI Perjuangan sempat menilai Ganjar sudah berubah dari banteng menjadi celeng.
Tapi, berkat dukungan Jokowi, nama Ganjar terus melejit. Tidak terbendung. Pun sampai ada gerakan ”celeng degleng”.
Ganjar tidak bisa dihadang. Puan Maharani yang dijagokan PDI Perjuangan tidak kunjung beranjak dari rating 2 persen.
”Sudahlah, lupakan Puan Maharani. Segeralah calonkan Ganjar.” Begitu kurang lebih keinginan mereka.
Setelah Ganjar akhirnya benar-benar ditunjuk resmi sebagai capres PDI Perjuangan, justru muncul isyarat lain. Dari Presiden Jokowi sendiri. Jokowi terlihat tidak jadi mendukung Ganjar. Dukungan seperti dialihkan ke Prabowo Subianto.
Kian lama isyarat itu kian kuat: ”Pak Lurah” mendukung Prabowo. Termasuk ketika Golkar, setelah ketua umumnya diperiksa Kejaksaan Agung selama 11 jam, akhirnya mendukung Prabowo. Ditambah dengan isu batas umur cawapres dipermuda menjadi 35 tahun. Agar anak Jokowi, Gibran, memenuhi syarat jadi pasangan capres Prabowo.
Maka, banyak teman yang telanjur mendukung Ganjar itu bertanya kepada saya: harus bagaimana. Apakah harus ikut banting setir. Mereka sudah telanjur diketahui sebagai pendukung Ganjar. Bahkan, ikut memengaruhi yang lain untuk memihak Ganjar.
Bagi pengusaha, dukungan itu dua jurus: suara dan lebih-lebih biaya.
Saran saya: tunggu dua bulan lagi. Untuk sekarang, tiarap saja dulu. Mungkin dua bulan lagi sudah lebih jelas.
Mereka memang terlihat jelas cinta mati kepada Jokowi. Pun,mereka yang usahanya sulit berkembang lima tahun terakhir. Pokoknya Jokowi.
”Mungkinkah dua bulan lagi Pak Jokowi balik dukung Ganjar lagi?” Begitu mereka bertanya.
”Saya bukan peramal,” jawab saya. Tapi, politik telah mengajarkan tidak ada yang tidak mungkin.
”Yang jelas, kalau Pak Jokowi tidak balik lagi ke Ganjar, maka inilah konflik terselubung paling terbuka dalam sejarah politik Indonesia modern,” kata saya.
Dari sidang tahunan MPR Rabu lalu sebenarnya saya ingin melihat wajah Megawati. Seperti apa ekspresi beliau. Terutama ketika Presiden Jokowi ”mengklarifikasi” bahwa ia bukanlah orang yang bisa atur-atur capres dan cawapres. Ia bukan seorang ketua umum partai. Bukan pula ketua koalisi partai. Yang berhak mengatur adalah mereka.
Sayang, saat bagian itu diucapkan, tidak ada kamera televisi yang menyorot ekspresi Megawati. Tertawakah Mega? Hanya senyum? Atau mencep –seperti sering dia lakukan setiap kali meremehkan sesuatu?
Kalaupun akhirnya Presiden Jokowi dan Presiden Megawati bersimpang jalan, tidak usah dianggap serius. Itu biasa saja. Pun Muhaimin, bisa konflik dengan Gus Dur. Sesama PKB. Sesama NU. Sesama Jombang. Sesama keluarga Kiai Bisri Syansuri al–maghfur.
Masih banyak yang akan terjadi dua bulan ke depan. Persyaratan umur capres-cawapres akan jelas: tetap 40 tahun atau berubah 35 tahun. Gibran atau Erick Thohir. Atau kelihatannya Gibran dulu, tapi ujungnya Erick Thohir. Yang jelas, bukan Muhaimin. Masuknya rombongan Golkar ke Prabowo membuat Muhaimin kehilangan relevansi.
Bagi pengusaha, kalau bisa pemilu dimajukan saja. Oktober 2023. Presiden baru sudah bisa dilantik akhir November. Agar segera jelas siapa nakhoda baru Indonesia. Siapa pun. Asal jelas. Kalau masih tahun depan, ekonomi bisa tidak menentu.
Selama keadaan belum menentu, pengusaha menahan diri untuk ekspansi. Mereka memang masih bicara ekspansi, tapi keluar uangnya nanti-nanti. Maka, ekonomi bisa tersandera: tidak bergerak di bawah.
Atau, sekalian saja pemilunya dimundurkan lima tahun lagi.
Ini hanya khayalan pengusaha. Tidak mungkin terjadi. Tapi,khayalan itu nyata. Pengusaha benci dengan suasana yang tidak menentu. Penantiannya terlalu lama. Bagi politisi,berlama-lama panas dingin mungkin punya daya tarik tersendiri. Tapi, tidak bagi pengusaha.
Para pengusaha baru saja melewati masa tidak menentu selama lebih dua tahun. Sudah harus menghadapi masa tidak menentu lagi, setahun lagi. (*)