Malang Post – Ada ribuan penari Jaranan. Dari berbagai ‘genre’. Mulai dari jaranan pegon, jaranan dhor, rampak kucing dan rampak barong. Hingga bantengan dan reog ponorogo.
Semuanya unjuk diri. Menggelar atraksi, yang sudah empat tahun mati suri. Tidak semata-mata karena Covid-19. Tapi juga perkumpulan ini sedang mencari jati diri.
Lewat Gelar Agung Jaranan Malang Raya. Ada 103 turangga dari wilayah Malang Raya, mulai mengaktualisasikan diri. Di sekeliling Bundaran Alun-alun Tugu. Di depan balaikota hingga gedung rakyat.
“Karena saat ini Perkumpulan Jaranan Malang Raya, sudah sah secara hukum. Surat pengesahan sudah dikeluarkan Kemenkum Ham. Jadi kami semakin mantap untuk tampil. Sejajar dengan budaya yang lain,” kata Ratmoko, Ketua Panitia Gelar Agung Jaranan Malang Raya. Minggu (11/12/2022).
Warga Kota Malang pun, tumplek blek. Memadati bundaran alun-alun, yang menjadi titik sentral Kota Malang. Membaur dengan reog, jaranan dan si manis Jatilan. Yang selalu menyertai sangar-nya wajah sang reog.
Ada kegembiraan, sekaligus rasa ‘ngeri’ pada diri anak-anak. Atau kaum muda lainnya. Yang terlihat mendominasi di antara ribuan penonton.
Bisa jadi hal itu muncul karena image selama ini yang muncul. Jaranan menakutkan. Apalagi kalau sudah ‘ndadhi’. Aroma mistis yang muncul, sangat kentara. Bahkan menutup aura budaya yang adi luhung. Karena jaranan adalah para lelulur bangsa Indonesia.
“Jaranan selama ini memang selalu di pinggiran. Nyaris tidak pernah disebut dalam seni budaya lainnya. Bahkan namanya tenggelam. Dan sekarang kami muncul untuk masuk dalam panggung budaya sepenuhnya,” tambah Ratmoko.
Wali Kota Malang, Sutiaji, punya pandangan yang sama. Di Kota Malang ini, ujar dia, ada ribuan pelaku budaya jaranan. Tetapi yang sudah memiliki KTA dan tercatat dalam Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, baru 130-an grup atau perkumpulan.
“Fakta itu menunjukkan, budaya ini sebenarnya tumbuh subur di Kota Malang. Mungkin karena mereka dianggap sepele. Atau belum ada penghargaan pada karya anak bangsa. Padahal, jaranan ini sangat luar biasa.”
“Kami pun, akan semakin memberikan porsi kepada jaranan. Agar dari yang sepele itu, bisa dihargai dan menjadi lebih luar biasa,” sebut Sutiaji.
Dia pun lantas menyebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, terus melakukan pembinaan pada seni bantengan. Yang ada di SDN Merjosari 3. Hasilnya, di Gelar Agung Jaranan Malang Raya itu, ada 60 siswa dari sekolah tersebut. Yang sangat apik menampilkan salah satu jenis dari jaranan ini.
Bahkan Kapolresta Malang, Kombes. Pol. Budi Hermanto, memiliki wawasan yang menarik. Untuk menjadikan seni budaya jaranan, masuk sebagai muatan lokal. Dalam kurikulum pendidikan di Kota Malang.
“Karena jika di perkenalkan sejak dini. Kepada murid-murid di level pendidikan mulai TK atau SD, jaranan akan dikenal sebagai sebagai sebuah seni budaya yang menarik. Mereka juga bisa melihat sisi positif dari jaranan. Tidak semata-mata hal negatif, yang muncul dari pandangan umum soal jaranan,” ujarnya.
Dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, Suwarjana, yang berada di samping Kapolresta Malang. Ketika menyaksikan penampilan 103 perkumpulan jaranan itu beraksi, langsung memberikan persetujuan. Bahkan ide itu, sudah lama disiapkan.
“Sementara ini memang jaranan itu image-nya masih jelek. Karena itu akan kami masukkan dalam pembelajaran di SD. Untuk mengenalkan sejak dini, tentang seni budaya jaranan,” tandas Suwarjana.
Tidak itu saja, mantan Kabag Umum ini juga menyebut, ke depan nantinya akan disiapkan momen-momen khusus. Termasuk saat peringatan hari-hari besar nasional. Untuk menampilkan seni budaya jaranan ini.
“Mudah-mudahan di Tahun 2023 nanti, kami bisa menampilkan jaranan yang full semua dari siswa kami. Baik siswa di tingkat SD ataupun SMP. Artinya semuanya berasal dari wilayah Kota Malang,” jelasnya.
Apalagi jika melihat antusias masyarakat yang menyaksikan Gelar Agung Jaranan Malang Raya. Yang terdiri dari berbagai macam. Mulai pelajar, mahasiswa, orang muda, dewasa sampai mereka yang sudah berusia. Suwarjana memandang, pentingnya pembelajaran yang benar terkait jaranan.
“Makanya nanti kami akan melakukan sebuah pengorganisasian, bahwa harus ada instruktur di masing-masing sekolah. Agar memahami jaranan itu tidak salah arah.”
“Jadi bagaimana latihan yang benar, berbicara yang benar, persepsi dan cara yang benar tentang jaranan. Mudah-mudahan bisa ditampilkan di Hari Guru atau Hardiknas. Dengan tampilan jaranan khusus dari siswa-siswi Kota Malang,” pungkas mantan Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini. (Ra Indrata)