*Pradana Boy ZTF MA Ph.D, Asisten Rektor UMM
Sejarawan dan ahli agama berkebangsaan Inggris, Karen Amstrong, dalam bukunya, Islam: A Short History, memberikan pandangan jernih. Ia menganjurkan agar peristiwa itu jangan dinilai dengan standar zaman kita hari ini.
Alasannya, “…the Muslims themselves had just narrowly escaped extermination, and had Muhammad simply exiled the Qurayzah they would have swelled the Jewish opposition in Khaybar and brought another war upon the ummah.”
(“…kaum Muslimin sendiri hampir dienyahkan, dan seandainya Muhammad hanya mengusir Banu Qurayzah, mereka akan memperbesar perlawanan Yahudi di Khaibar dan menyulut peperangan lainnya bagi umat Islam)”.
Menurut Amstrong, hukum tradisional yang berlaku di kalangan masyarakat Arab pada saat itu.
Menyatakan, seorang pemimpin sama sekali tidak diharapkan menampakkan belas kasihan kepada pengkhianat seperti Banu Qurayzah.
Sebuah riwayat disebutkan, serombongan Yahudi datang berkunjung kepada Muhammad. Karena kebencian yang mendalam, mereka mengucapkan:
“Assaamu alaika ya Muhammad” atau “racun bagimu wahai Muhammad.” Atas ucapan yang menghina itu, Nabi menjawab: “Alaikum…” atau “Bagi kalian juga.”
Aisyah, istri Nabi, yang tengah berada di sampingnya, marah dengan doa buruk itu dan menjawab: “as-Sam ‘alaikum, wa la’anakumullah wa ghadliba ‘alaikum.”
“Celakalah kalian, wahai umat Yahudi. Semoga Allah melaknat dan menimpakan kemarahan kepada kalian semua.”
Mendengar balasan dari ‘Aisyah, Nabi Muhammad menegur: “Mahlan ya ‘Aisyah, alaiki bi al-rifqi wa iyyaki wa al-‘unf aw al-fuhsy.” “Tenanglah, wahai Aisyah. Tetaplah berperilaku lembut (kepada mereka), tidak usah terbawa emosi dan berkata kotor.”
Terhadap sikap Nabi itu, ‘Aisyah sepertinya kurang puas. Ia kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mendengar perkataan buruk mereka kepadamu.
Mereka mendoakan hal buruk atasmu.” Rasulullah menjawab: “Iya, aku mendengar. Tetapi biarkanlah Allah yang membalas, dan bukankah sudah aku jawab, wa alaikum, atau untuk kalian juga. Itu sudah cukup.”
Dua peristiwa di atas terjadi dalam situasi yang berbeda. Pada situasi pertama, Nabi dan umat Islam melakukan tindakan keras kepada Banu Qurayzah, karena mereka telah melakukan tindakan yang mengancam eksistensi umat Islam.
Situasinya adalah perjuangan hidup mati. Maka, tidak ada pilihan kecuali harus membela diri. Di samping itu, tindakan terhadap Qurayzah juga dimaksudkan sebagai peringatan kepada suku lain agar jangan main-main dengan umat Islam.
Berbeda dengan konteks pertama, situasi kedua menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Nabi Muhammad bersikap lemah lembut kepada mereka yang menghinanya.
Bahkan ketika orang terdekatnya secara emosional terpancing, beliau sama sekali tak terpengaruh oleh ucapan tersebut.
Maka, dalam menghadapi aneka fitnah di akhir zaman ini. Termasuk di dalamnya adalah hinaan kepada Nabi Muhammad dan umat Islam. Sudah seharusnya umat Islam menghadirkan akhlaq Nabi dalam membela Nabi.
Terlebih pada momen peringatan kelahiran Nabi Muhammad ini, adalah sangat penting untuk menghadirkan teladan akhlaq Nabi dalam tindakan dan bukan dalam retorika semata.
Merupakan ironi, ketika umat Islam membela Nabi, tetapi justru dengan cara mengingkari akhlaq Nabi.
Lalu, hinaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad oleh sebuah surat kabar di Perancis, masuk ke dalam kategori peristiwa pertama atau kedua?
Pemahaman atas hal ini, sepenuhnya terpulang kepada masing-masing individu.
Akan tetapi, ada dua hal penting di sini: membela Nabi adalah wajib, dan menghadirkan akhlaq Nabi dalam setiap dimensi kehidupan juga wajib. Wallahu a’lam bi al-shawwab. (Roz/jan)