Ramai-ramai pembahasan tentang childfree. Baiknya kita tidak terpancing emosi terlebih dulu. Jika memang kita belum sepakat dengan pemikiran itu. Childfree adalah sikap tidak mau memilih untuk memiliki keturunan.
Alasan tersebut bisa jadi karena melihat jumlah populasi masyarakat yang semakin banyak, bisa juga karena merasa memiliki hak istimewa bagi mereka yang lebih maju. Bahkan bagi mereka penganut childfree, justru merasakan sungguh egois apabila memaksakan diri memiliki anak di tengah kondisi belum mencukupi.
Sekalipun adanya ungkapan, “Ah, itu dipikir sambil jalan aja” atau “Rejeki anak sudah ada yang ngatur” itu bukan kalimat sederhana yang bisa mereka terapkan.
Dalam penelitian yang berjudul Parenthood as a Moral Imperative? Moral Outrage and the Stigmatization of Voluntary Childfree Women and Men juga menjelasakan kesimpulan yang sama.
Penelitian itu menyebutkan bahwa selama tiga dekade ini, orang yang sengaja tidak punya anak selalu dipandang rendah oleh masyarakat. Masa depan mereka dianggap suram dan dinilai egois karena kegiatan mereka cuma bersenang-senang.
Meskipun banyak perspektif negative terkait itu, survei yang dilakukan beberapa peneliti seperti Tomas Frejka (Peneliti dan penulis Childlesness in United States) dan Tomas Sobotka (Peneliti dari Vienna Institute of Demography) menemukan bahwa jumlah orang yang tidak ingin punya anak semakin bertambah setiap tahunnya.
Keinginan untuk childfree didasarkan pada berbagai macam alasan seperti khawatir tidak bisa memberikan fasilitas yang layak untuk anak, keuangan yang mepet, pekerjaan yang mengharuskan berpindah-pindah lokasi, lingkungan yang tidak memungkinkan.
Misal: konflik perang, tinggal di lingkungan kumuh, dan belasan alasan lainnya. Di Amerika yang sudah dikenal sebagai negara maju saja masih ada yang menganggap pelaku childfree sebagai orang egois, apalagi di Indonesia. penerimaan hal tersebut masih sangat berat.
Memiliki keturunan adalah sebuah tanggungjawab yang besar. apalagi keputusan itu secara jelas diambil oleh perempuan yang selama hidupnya memiliki tanggungjawab biologis yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki.
Sehingga cukup wajar jika hal itu dipilih asalkan tidak menyudutkan pilihan perempuan lain juga yang ingin memiliki keturunan atau bahkan cenderung menyalahkan. Persoalanyan keriuhan dalam berkomentar terhadap chiledfree ini ternyata mengandung sikap yang menyudutkan pilihan-pilihan sesama perempuan.
Bukan hanya childfree persoalan perempuan yang ingin terus berkarir atau mau fokus membersamai keluarga di rumah juga masih sering menjadi pembahasan yang tak ada habisnya.
Bak seorang artis, semua kehidupan perempuan selalu menjadi sorotan. Jika perempuan tersebut memilih untuk melanjutkan studi hingga kejenjang yang paling tinggipun bukan malah didukung justru malah ditakut-takuti. Apalagi jika perempuan tersebut belum memiliki pasangan.
“Pasti tidak ada laki-laki yang mau mendekat”, “bikin calon pasangan jadi insecure”. Justru perempuan dengan latarbelakang pendidikan yang tinggi inilah bukan lavel dari para laki-laki yang seperti itu. Hanya laki-laki yang cerdas dan penuh kepercayaan dalam dirinya yang lebih pantas mendapatkan perempuan yang melek pendidikan itu.
Justru dalam sebuah Sebuah riset membuktikan, kecerdasan anak berasal dari sang ibu. Kita mungkin berpikir, kemampuan berpikir seorang anak pasti tergantung pada kedua orangtuanya. Namun, dalam penelitian itu disebut, ada gen tertentu yang beroperasi secara berbeda, tergantung dari mana gen itu berasal, apakah dari ibu atau ayah.
Kecerdasan seseorang terletak di kromosom X. Perempuan membawa dua kromosom X dan laki-laki membawa satu kromosom X, maka kecerdasan seorang anak sebagian besar berasal dari ibunya.
Tidak perlu khawatir tentang rasio penduduk perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki, Lalu orang-orang semakin menyangsikan jika perempuan tidak gerak cepat maka akan kesulitan mendapatkan laki-laki.
Nyatanya, berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2020, BPS mencatat jumlah penduduk laki-laki di Indonesia sebanyak 136,66 juta orang, atau 50,58 persen dari penduduk Indonesia. Sementara, jumlah penduduk perempuan di Indonesia sebanyak 133,54 juta orang, atau 49,42 persen dari penduduk Indonesia.
Beban perempuan sudah berat. Sejak zaman jahiliyah, kehadiran perempuan menjadi sebuah aib bagi keuarganya. Apalagi bila mereka mempunyai kedudukan terhormat dalam kelompok masyarakat. Karena itu, demi menutupi aib-nya, anak perempuan yang baru dilahirkan harus dibunuh.
Kalau diselamatkan (tidak dibunuh), anak perempuan di zaman pra-Islam ini hanyalah menjadi pemuas kaum pria. Ia wajib melayani kehendak pria, termasuk bapaknya sekalipun. Dan anak-anak perempuan tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah.
Mereka cukup untuk memasak di dapur, melayani suami (pria) saat malam hari dan mencuci pakaian. Tak heran bila kemudian muncul adagium bahwa perempuan itu tugasnya hanya di dapur, di sumur dan di kasur.
Maka jika sampai sekarang masih ada yang berpikir bahwa tugas perempuan hanyalah seputar dapur, sumur dan kasur maka mereka sama dengan kaum jahiliyah. Zaman boleh berbeda, namun jika pikiran tetap sama maka itu sebuah kerugian bagi kita semua. Dan itu harus segera disadarkan.
Pada zaman yang spenuh dengan pencerahan ilmu saat ini, tentu banyak ilmu baru yang lebih bisa didapatkan dan bisa mencerahkan kehidupan masyarakat. Terlebih adanya internet, sehingga untuk mendapatkan ilmu tidak harus dipelajari di ruang-ruang formal saja namun bisa belajar secara mandiri.
Harusnya tidak ada lagi pikiran yang mendeskriminasi kiprah perempuan. Perempuan saat ini memang sudah tidak lagi dibunuh secara fisik. Namun, pembunuhan perempuan secara mental dan karakter masih nyata adanya.
Mari saling dukung keberadaan perempuan. Biarkan perempuan menjadi apa yang dia inginkan. Perempuan bebas memilih kapan dia akan menikah, punya anak atau tidak , mau berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, mau menyusui menggunakan asi atau menggunakan susu formula.
Asalkan semua sejahterah mari kita dukung saja. Sikap saling menghargai ini bisa kita latih. Tidak serta merta tumbuh. Ada lingkungan yang kita ciptakan untuk mendukung itu semua. Kita bisa mulai dari Struktu sosial terkecil di masyarakat yaitu keluarga. (*)
Penulis:
Maharina Novi, RBC Institute Abdul Malik Fajdar, PWNA Jatim, Humas & Protokoler UMM