Malang Post — Beberapa hari yang lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mencatat bahwa terdapat 1.303 sekolah menjadi klaster COVID-19 selama pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.
Namun, Mendikbudristek Nadiem Makarim memberikan penjelasan untuk sekolah tatap muka tidak akan diberhentikan. Bahkan ia menuturkan jika ada sekolah yang menjadi klaster COVID-19, maka sekolah tersebut dipersilahkan untuk ditutup hingga kembali aman untuk PTM terbatas
Padahal sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan menyampaikan jika kasus kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia merupakan tertinggi di dunia. Berdasarkan yang dimiliki IDAI, proporsi kasus positif Covid-19 pada anak usia 0-18 tahun sebesar 12,5%. Itu berarti 1 dari 8 kasus positif Covid-19 adalah anak-anak.
Tren secara global menunjukkan jika kasus infeksi pada anak selalu menempati urutan terendah. Bahkan, proporsi infeksi Covid-19 pada anak secara global hanya sekitar 3%, sedangkan Indonesia melaporkan proporsi infeksi Covid-19 pada anak bisa mencapai 12,5%.
Baru-baru ini, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menyebut, kasus konfirmasi positif COVID-19 pada anak naik sebesar 2 persen. Kasus COVID-19 pada anak masih 13 persen di Juli 2021, kini menjadi 15 persen ada awal September.
Banyaknya kasus infeksi pada anak seperti ini, mencerminkan bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia belum berpihak kepada anak. Terdapat kondisi yang tidak optimal untuk melindungi anak sebagai salah satu kelompok rentan terhadap Covid-19.
Belum lagi kasus kesehatan di Inonesia yang masih kompleks seperti adanya malnutrisi dan stunting. Terlebih program imunisasi yang seharusnya dapat diberikan pada anak justru malah terhambat karena adanya pembatasan selama pandemi, ini bisa memicu timbulnya wabah lainnya.
Program kita dalam pembangunan kesehatan bukan masalah Covid-19 saja. Seharusnya, program rutin lain terkait peningkatan kesehatan anak tidak boleh diabaikan terlebih disaat pandemic seperti ini.
Peningkatan kasus anak yang terkonfirmasi positif COVID-19 membuat Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah sangat berisiko. Anak-anak yang beraktivitas tatap muka tak hanya berisiko terinfeksi COVID-19 melainkan juga berpotensi menjadi sumber penularan virus Corona bagi lingkungan keluarga.
Anak-anak akan menyumbang sumber primer dan kasus klaster yang ada di keluarga. Sejumlah negara di dunia sudah menunjukkan sekolah tatap muka bisa menjadi klaster baru COVID-19. Bahkan, sejumlah sekolah di Indonesia yang menggelar PTM mengidentifikasi klaster COVID-19. Terbanyak ditemukan di Jawa Barat, sedangkan 25 klaster ditemukan di DKI Jakarta.
Proses pembelajaran itu bisa mempunyai risiko jumlah kasus positif akan bisa meningkat dan menjadi klaster baru. Kewaspadaan infeksi COVID-19 pada anak juga telah diserukan oleh Ikatan Dokter Indonesia sejak beberapa bulan yang lalu.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX pada awal Juli 2021, IDAI menyampaikan bahwa sekolah tatap muka tetap memiliki risiko penularan COVID-19 meski durasi pertemuanya singkat. Situasi kasus Covid-19 pada anak di Indonesia cukup mengkhawatirkan. karena, sampai saat ini sebagian besar rumah sakit belum memiliki ruang ICU (Intensive Care Unit) khusus anak.
Begitu juga dengan jenis obat-obatan termasuk Intravenous Fluid Drops (IVFD) yang masih terbatas karena tidak masuk dalam skema pelayanan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
Penerapan terkait strategi tracing, testing, dan treatment (3T) harus dilakukan secara benar transparan dan valid. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan ini pun tidak murah. Perlu ada dukungan dari pemerintah secara serius agar proses pembelajaran bisa dilakukan secara lancar.
Waspada Learning Loss.
Dampak yang harus diperhatikan ketika proses pembelajaran tidak bisa dilakukan secara maksimal adalah adanya resiko learning loss. baik pemerintah, sekolah maupun orang tua harus ikut berpartisipasi untuk menjaga kualitas pembelajaran anak Indonesia agar hal tersebut tidak terjadi.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika RI Johnny G. Plate, risiko learning loss terjadi karena peserta didik tidak memeroleh pembelajaran yang optimal. Hal ini berdampak pada kemunduran akademis dan non akademis.
Ancaman learning loss akan semakin besar terjadi pada anak-anak selama pandemi, karena kegiatan belajar mengajar yang terpaksa dilakukan secara jarak jauh untuk menekan penyebaran COVID-19. Ditutupnya sekolah selama lebih dari satu tahun berpotensi menciptakan kehilangan pembelajaran (learning loss) dimana ketika sekolah ditutup selama tiga bulan, anak-anak diprediksi kehilangan pembelajaran yang setara dengan lebih dari satu tahun (Kaffenberger, 2020).
Learning loss ini akan terjadi saat situasi peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan baik umum atau khusus atau kemunduran secara akademis. Dalam situasi pandemi, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berisiko terhadap kejadian learning loss. Perlu metode khusus yang diambil untuk mencegar terjadinya resiko ini.
Selain pertemuan tatap muka terbatas, perlu adanya inovasi yang bisa menjadi solusi dalam hal ini. Di bidang pendidikan, inovasi ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran serta meningkatkan kualitas pembelajaran melalui berbagai pembaharuan dalam teori pedagogi, pendekatan metodologis, teknik mengajar, alat pembelajaran, proses pembelajaran maupun struktur institusional (Serdyukov, 2017).
Dalam hal ini, mulai dari pemerintah, sekolah, hingga orang tua perlu mengupayakanya. Inovasi dalam pendidikan sering dihubungkan dengan penggunaan teknologi dan internet dalam mengakses materi maupun melakukan interaksi pembelajaran, seperti melalui situs web (website), Learning Management System (sistem manajemen pembelajaran), mobile application (aplikasi seluler), hingga media sosial.
Namun pada kenyataannya, seringkali praktik inovatif dalam pendidikan menjadi terbatas hanya pada media teknologi dan kanal digital.
Di beberapa kejadian ketika perangkat teknologi dan jaringan tidak memadai serta kapasitas guru dan orangtua terbatas dalam mengoptimalkan teknologi digital, praktik inovasi seolah harus terhenti. Padahal, inovasi adalah upaya meningkatkan kualitas dan efisiensi melalui berbagai pembaharuan.
Oleh sebab itu, inovasi dalam pendidikan perlu dipahami dan dilakukan bukan hanya pada tatanan cara melalui penggunaan teknologi dan digitalisasi, namun perlu dimulai dari tatanan pola pikir dan perilaku. (*)
Ditulis oleh : Maharina Novi,
Peneliti RBC Institute A.Malik Fadjar, PWNA Jatim