Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jilid II Malang Raya telah berakhir Senin (8/2/2021) yang kemudian akan dilanjutkan menjadi PPKM Mikro seperti Instruksi Mendagri No 3 Tahun 2021 yang didalamnya juga disebutkan bahwa ada tiga kawasan di Jawa Timur yang wajib menerapkan PPKM Mikro, yaitu Malang Raya, Surabaya Raya, dan Madiun Raya.
Pihak Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Leonardus Simarmata mengatakan telah berkoordinasi dengan Walikota, Dinas Kesehatan, dan beberapa Puskesmas untuk melaksanakan kegiatan tracing dan tracking bersama Babinsa dan Bhabinkamtibmas terhadap warga masyarakat di setiap Kelurahan dengan zona merah dan oranye.
Selain itu, juga akan dilakukan penambahan KTS (Kampung Tangguh Semeru) yang awalnya berjumlah 85 menjadi maksimal 100 KTS untuk meningkatkan penempatan seluruh warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 di KTS yang kemudian akan di evakuasi di Safe House (Rumah Isolasi Pemkot Malang) Jalan Kawi dan RS Lapangan Idjen Boulevard.
Dari data yang diperoleh, ada 12 Kelurahan yang berpotensi masuk skala prioritas PPKM Mikro yaitu Kelurahan Pandanwangi, Kelurahan Lowokwaru, Kelurahan Purwantoro, Kelurahan Purwodadi, Kelurahan Samaan, Kelurahan Tanjungrejo, Kelurahan Bandungrejosari, Kelurahan Polowijen, Kelurahan Tulusrejo, Kelurahan Mojolangu, Kelurahan Tlogomas, dan Kelurahan Sawojajar. (Surya.co.id 8/2/2021).
PPKM Mikro ini sudah berlangsung sejak Selasa (9/2/2021) hingga Senin (22/2/2021). Wali Kota Malang Sutiaji menegaskan, kebijakan PPKM berbasis mikro tidak berbeda jauh dengan penguatan kampung tangguh. Sehingga Pemkot Malang diharapkan dapat memperkuat peran 96 kampung tangguh di masyarakat. Selanjutnya, para ketua RT, RW, dan lurah akan diminta untuk memastikan protokol kesehatan (prokes) benar-benar dilaksanakan di lingkungan masing-masing.
Namun tidak ada penutupan di wilayah-wilayah tersebut. Rencananya, setiap RT/RW akan mendapatkan stimulasi Rp500 ribu per bulan selama pandemi Covid-19 sebagai bentuk apresiasi atas kinerja RT dan RW selama pandemi. (AyoSurabaya.com 8/2/2021).
Setelah setahun pandemi mengikuti, dengan jutaan orang yang telah menjadi korban, hingga kini belum ada tanda-tanda wabah akan pergi. Dimulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), semuanya tiada yang berarti.
Kebijakan PPKM dimulai pada 11/1/2021 lalu berakhir pada 25/1/2021, dan kini menyusul PPKM jilid II. Namun ternyata PPKM pertama dinyataan tidak efektif berdasarkan rapat terbatas (ratas) pendisiplinan Melawan Covid-19 di Istana Bogor (29/01/21). Maka dari itu, perlu desain ulang yang lebih efektif dari kebijakan ini. (denpasarupdate.pikiran-rakyat.com, 31/01/21). Dari sini terlihat bahwa Pemerintah kebingungan sehingga bergonti-ganti kebijakan.
Sejak wacana karantina total mencuat, yang hanya ditanggapi dengan sepele, akhirnya atas pertimbangan ekonomi, hanya diberlakukan PSBB. Tak berlangsung lama setelah PSBB, diberlakukan new normal yang mengakibatkan kasus bertambah banyak tiap harinya lalu PPKM menjadi pilihan berikutnya dan setelahnya dikatakan tidak efektif. Pendapat para ahli pun tidak digubris, seperti yang dikatakan Ahli Epidemiologi Lapangan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto dr Yudhi Wibowo.
Menurut beliau, PPKM ini adalah kebijakan tanggung karena beberapa hal tidak diimplementasikan secara konsisten dan tegas karena pada nyatanya, di lapangan tidak semuanya ditaati. (Kompas.com 29/1/2021). Banyaknya rakyat yang mulai tak patuh adalah hasil dari ketidakjelasan kebijakan yang diberlakukan, bahkan korban semakin berjatuhan. Inilah akibatnya ketika seluruh kebijakan berasal dari akal dan dugaan manusia, kebijakan dibuat lebih mengacu pada ekonomi dari pada nyawa rakyat, dan menjadi bukti gagalnya kapitalisme dalam mengatasi pandemi.
Berbeda dengan konsep Islam yang mengatasi pandemi dengan begitu kompleks dan komprehensif. Konsep yang totalitas ini terkait berbagai aspek, baik kesehatan, ekonomi, maupun politik dalam negeri. Saat terdengar pertama kali wabah merebak di luar negeri, Negara akan menutup pintu-pintu perbatasan. Ketika wabah itu ada di dalam negeri, maka karantina setempat akan diberlakukan. Karantina akan langsung diberlakukan di tempat wabah pertama kali ditemukan, disertai jaminan hidup dasar bagi penduduk wilayah karantina. Sedangkan bagi warga yang wilayahnya masih bersih dari wabah tetap menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Negara akan memberlakukan testing sebanyak-banyaknya, sekaligus tracking/tracing untuk menelusuri jalur penularan. Hingga akhirnya jelas dan bisa dipisahkan antara rakyat yang sehat dan sakit. Kemudian Negara akan menggencarkan beragam info yang benar tentang konsep yang harus dilakukan masyarakat untuk menjaga diri dan mencegah penularan agar tidak menimbulkan bahaya bagi lingkungan dan sekitar sehingga akan muncul kesadaran untuk saling menjaga.
Melalui penelusuran dan tes massal, akan dapat dideteksi secara cepat warga yang sakit sehingga dapat segera memisahkan mereka dari yang sehat. Tindakan perawatan dengan pelayanan medis terbaik dan gratis pun dilakukan. Sama halnya bagi pasien tidak bergejala (OTG), akan dirawat dengan isolasi terpusat dalam pengawasan petugas medis. Kemudian Negara akan mendorong dan memfasilitasi ilmuwan untuk terus melakukan penelitian terkait terapi dan vaksin. Negara juga akan memberikan bantuan bahkan nafkah bagi keluarga yang terdampak atau kehilangan tulang punggung keluarganya.
Penulis : Adelia Firandi, S.Farm., Apt (Mahasiswi)