MALANG POST – Presiden Prabowo Subianto menetapkan kenaikan upah minimum buruh 2025 sebesar 6,5 persen. Keputusan ini diambil tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Prabowo menyampaikan kenaikan upah minimum itu setelah menggelar rapat terbatas dengan kementerian terkait di kantor Presiden.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 6 persen.
“Namun, setelah membahas juga dan melaksanakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan buruh, kita ambil keputusan untuk menaikkan rata-rata upah minimum nasional pada tahun 2025 sebesar 6,5 persen,” ungkap Prabowo Jumat (29/11/2024) lalu seperti dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.
Mengacu pada kenaikan tersebut, estimasi nominal upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025 di Jawa Timur dari Rp 2.165.244 menjadi Rp 2.305.985. Namun, kenaikan ini sepertinya tidak mendapat sambutan baik dari serikat pekerja.
Melansir Cityguide911fm.com, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Jumisih menyebut kenaikan UMP 6,5 persen tersebut masih jauh dari harapan mereka.
“Enggak impas kenaikan 6,5 persen itu untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya,” kata Jumisih.
Apalagi pemerintah juga menaikkan PPN 12 persen, pembatasan subsidi BBM, kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga iuran Tapera.
Menurut hitungan buruh FSBPI, kenaikan UMP setidaknya mencapai 10 persen untuk memenuhi standar kehidupan buruh.
Begitu pula Konfederasi Serikat Buruh Pekerja Indonesia (KSBI). Presiden KSBI Elly Rosita menilai kenaikan UMP tahun 2025 tersebut tidak ada artinya jika pemerintah memberlakukan sejumlah kebijakan baru yang membebani kelas pekerja.
“Jangan seperti main petak umpet. Buruh dibikin terlena dengan kenaikan upah, tapi di belakangnya pemerintah menaikkan berbagai pajak,” kata Elly.
KSBI memiliki metode hitungan sendiri soal pengupahan menggunakan konsep pertumbuhan ekonomi plus inflasi dan indeks tertentu (kumulatif). Dengan formula ini, kenaikan upah bisa antara 7-10 persen.
Mengutip Merdeka.com, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W Kamdani mengaku keberatan dengan kebijakan ini. Dia menilai kenaikan itu akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja, biaya operasional khususnya sektor padat karya.
“Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” kata Shinta.
Para pengusaha saat ini tengah menunggu penjelasan pemerintah lebih lanjut soal kebijakan ini, untuk mengambil sikap ke depan. (*/wan)