MALANG POST – Kejaksaan Negeri (Kejari) Batu menerima pelimpahan perkara tahap dua terkait kekerasan terhadap anak dari Polres Batu, Jumat, (14/6/2024). Seperti diketahui ada lima tersangka dalam peristiwa yang menewaskan seorang anak tersebut.
Kelima orang tersangka itu diantaranya adalah AS (13), MI (15), KA (13), MA (13) dan KB (13). Dalam penanganan kasus ini, Kejari Batu sangat berhati-hati. Sebab penanganan perkara anak sangat berbeda.
“Tentunya kami harus ambil sisi humanis. Dengan tetap bekerja secara profesional. Kami juga sudah menunjuk jaksa yang bekerja secara profesional dan humanis,” tutur Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batu, Didik Adyotomo.
Dalam penanganan perkara ini, pihaknya mengacu pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), sehingga dalam penanganan perkara ini dan perbuatan yang dilakukan oleh kelima anak tersebut diatur dalam pasal 80 ayat (3) Jo. Pasal 76C Undang-undang Nomor 35 tahun 2014, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp3 Miliar. Namun untuk pelaku anak berdasarkan pasal 79 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA Pidana, pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari maksimum pidana penjara, yang diancamkan terhadap orang dewasa. Sedangkan untuk penjatuhan pidana denda sebagaimana telah tercantum dalam pasal yang disangkakan diganti dengan pelatihan kerja.
“Setelah proses ini, akan kami tindaklanjuti dengan mempersiapkan dakwaan. InsyaAllah Minggu depan akan kami limpahkan ke pengadilan untuk segera disidangkan. Karena kasus anak, kami ingin penanganan perkara ini cepat selesai,” katanya.
Dalam penanganan perkara ini, pihaknya bekerjasama dengan seluruh stakeholder terkait. Mukai dari prose penyidikan, penuntutan sampai dengan eksekusi dan penetapan.
“Anak berhadapan dengan hukum memerlukan penanganan khusus. Bukan kami tidak peduli pada korban, namun penanganan kasus anak sesuai undangan-undang memang seperti itu,” katanya.
Dalam Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak, hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 tahun. Sehingga empat orang anak dari lima tersangka tersebut tidak dapat dilakukan penahanan sesuai undangan-undang.
“Yang bisa ditahan hanya satu orang, yakni MI. Sedangkan mereka yang tidak ditahan dikembalikan ke orang tuanya. Namun dalam hal ini, Pemkot Batu bekerjasama dengan Pemprov Jatim turut ambil bagian. Untuk menyediakan tempat khusus bagi empat anak tersebut,” ujarnya.
Pemkot Batu memberikan fasilitas tersebut karena khawatir efek masyarakat ketika dikembalikan ke orangtuanya. Sehingga berpengaruh untuk perkembangan anak.
“Secara yuridis memang tidak ada kewajiban Pemkot Batu menyediakan fasilitas tersebut. Nantinya di tempat itu, anak-anak akan diberdayakan. Sembari menunggu proses persidangan yang akan mereka ikuti,” jelasnya.
Lebih lanjut, dari perkara ini, pihaknya berharap bisa jadi pembelajaran untuk semuanya. Sehingga tak terulang lagi di kemudian hari.
“Kejadian seperti itu memang tak diharapkan terjadi. Ini diluar prediksi kami bersama. Terlebih Kota Batu sedang menuju Kota Layak Anak. Bagaimanapun juga Kota Batu harus jadi Kota Layak Anak. Karena itu, kita harus berjuang bersama untuk mewujudkan hal tersebut,” imbuhnya.
Dari perkara ini, juga diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi orang tua. Untuk selalu mengawasi putra-putrinya. Sebab bagaimanapun juga, anak dibawah umur masih jadi kewajiban orang tua untuk mengawasi.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Batu, Aditya Prasaja menambahkan, kasus pidana anak terdapat undangan-undang tersendiri. Karena itu, Pemkot Batu turut ambil bagian untuk melakukan pendampingan.
“Kami akan melakukan pembinaan baik dai sisi psikologi, mental maupun kesehatan. Selama penanganan perkara ini, mereka mengisi waktu luang dengan proses pendidikan, sebab hal tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah,” kata Aditya.
Untuk bimbingan psikologi, pihaknya memberikan bimbingan baik kepada keluarga korban maupun keluarga tersangka. Pihaknya berharap, dalam masa penanganan perkara ini, anak-anak tetap bisa memperoleh haknya.
“Kami tidak bisa mengabaikan hal tersebut. Masa depan mereka masih panjang, karena itu kami berikan pembinaan untuk perjalanan hidup ke depan, sehingga dapat menjadi individu yang baik. Karena itu, kami bersama pemerintah provinsi memastikan hak anak terhadap pendidikan harus tetap diberikan,” tutupnya. (Ananto Wibowo)