Oleh: Dahlan Iskan
PESAN saya pada istri Harry Bayu hanya satu: Anda harus bisa kejam. Termasuk pada diri sendiri. Juga pada keluarga.
Harry Bayu sukses menjalani transplantasi hati di RSCM Jakarta Jumat lalu (baca Disway 23 April 2024: Politik Hati)
Tentu keluarga gembira. Apalagi dua hari kemudian Harry sudah bisa bicara. Hari ketiga sudah bisa ngobrol. Sudah bisa minta disambungkan video call dengan saya.
Maka saya ingatkan agar mereka jangan melupakan kewaspadaan. Misalnya: begitu gembiranya sampai sering-sering masuk ICU. Lupa pula membersihkan badan.
“Jangan sampai Pak Harry kena infeksi,” pesan saya.
Keluarga memang harus bisa menjaga pasien transplant se-steril mungkin. Saya dulu beruntung punya ”polisi internasional”: Robert Lai. Orang Singapura. Disiplin. Keras. Setiap orang yang masuk ke kamar saya harus cuci tangan. Pakai masker.
Termasuk istri dan anak-anak saya. Selama tiga bulan penuh.
Soal operasi transplantasinya sendiri RSCM/UI sudah jagoan. Sudah melakukannya 89 kali. Tapi kegagalan masih bisa terjadi: sesudah operasi. Hari-hari setelah operasi masih bisa terjadi penolakan. Hati yang baru dipasang itu ditolak oleh sistem tubuh.
Saya dulu merasa beruntung karena Robert selalu mengingatkan pesan dokter: tiga bulan setelah transplant harus ekstra waspada. Apalagi seminggu pertama seperti Harry Bayu sekarang ini.
Problem berikutnya adalah: kedisiplinan minum obat. Terutama obat penurun imun.
Saya sangat disiplin minum obat. Dua kali sehari (dulu), sehari sekali (sejak lima tahun lalu).
Termasuk di masa Covid-19 lalu.
Waktu itu orang lain sibuk menaikkan imun, saya tiap hari justru menurunkan imun.
Anda sudah hafal mengapa imun saya tidak boleh kuat: agar badan jangan menolak benda asing yang ada di tubuh.
Hati baru yang ditransplantasikan itu oleh sistem tubuh dianggap benda asing. Harus ditolak.
Saya pun heran ketika sekitar delapan tahun lalu bertemu orang yang tidak disiplin. Ia sudah berhasil menjalani transplanntasi hati di RSCM. Tapi sia-sia.
“Sudah berapa lama transplant?” tanya saya.
“Sudah tiga tahun.”
“Masih minum obat?”
“Tidak lagi.”
“Lho kenapa?”
“Mahal.”
Saya beri tahu: tidak boleh begitu. Sudah berani transplant harus menjaga diri. Kasihan juga pada orang yang telah menyumbangkan hati.
“Saya sehat saja,” katanya.
Setahun kemudian saya WA orang itu. Yang menjawab istrinya: “Suami saya sudah meninggal dunia,” kata sang istri.
Umurnya sekitar 45 tahun.
Kemarin saya ingat-ingat namanya: tidak ingat. Saya cari nomor teleponnya: hilang.
Tadi malam saya ceritakan soal itu ke Prof Dr Toar Jean Maurice Lalisang SpB-KBD. Ia tim inti transplantasi hati RSCM/UI.
“Itulah problem sosial kita pak,” jawab Prof Toar.
Seperti transplant terhadap Harry Bayu ini, tim RSCM sudah bisa mengerjakannya dalam operasi 14 jam. Dulu operasinya sampai 20 jam. Ada yang sampai 24 jam. Tergantung tingkat kesulitannya.
Prof Toar yang lahir di Belanda itu ternyata memang turunan dokter. Neneknya adalah dokter. Dia wanita kedua di Indonesia yang sekolah kedokteran di Stovia –kelak jadi fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Anda sudah tahu sang nenek: Anna Warrow.
Ibunya juga seorang dokter: lulusan Leiden, Belanda. Saat kuliah itulah sang ibu bertemu mahasiswa ekonomi di Amsterdam –di kampusnya Frans Seda, Radius Prawiro, dan Kwik Kian Gie. Mereka sudah saling kenal di Indonesia tapi baru jatuh cinta di sana. Kawin. Lahirlah Toar.
Prof Toar sendiri punya anak yang jadi dokter. Berarti dokter empat generasi.
“Toar itu apa?” tanya saya.
“Itu nama laki-laki di Minahasa. Kalau di Jawa seperti Bambang,” jawabnya. “Toar sendiri artinya cahaya,” tambahnya.
Harry kini di bawah pengawasan Prof Toar. Selama di RSCM. Tapi setelah pulang nanti tidak ada lagi yang mengawasinya.
Harry sendiri yang harus disiplin. Juga istri dan keluarganya. (***)