Malang Post – Fenomena perang sarung yang biasa muncul selama bulana Ramadan, mulai meresahkan banyak kalangan. Perang sarung yang awalnya tradisi bermain remaja zaman dulu, tarung sarung, kini mengalami pergeseran makna, menjadi ajang yang cenderung menujurus konflik.
Praktisi Ilmu Sosiologi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, S.Sos, M.Si, mengkritisi bergesernya pemaknaan tarung sarung dari konsep awalnya. Dimana, menurutnya itu menjadi tradisi permainan yang memang ramai dilakukan para remaja saat malam puasa Ramadan.
“Tarung sarung ini dari dulu memang muncul saat malam Ramadan, menjadi permainan yang diikuti remaja antarmusala dan masjid. Ya, semacam tradisi berkumpul dan bermain bersama,” terang Luluk Dwi, Minggu (17/3/2024).
Menurutnya, tarung sarung yang muncul saat ini bisa juga sebagai bentuk regenerasi pemaknaan pelestarian tradisi dari waktu ke waktu.
“Akan tetapi, sekarang fenomenanya bergeser. Tarung sarung lebih menampilkan kecenderungan ego kelompok dan konflik. Padahal, dulu menjadi sarana berkumpul, menikmati suasana ramadan dengan harmonis,” jelas pakar yang juga Kaprodi Sosiologi UMM ini.
Permainan tarung sarung, kata Luluk, dulunya hanya memanfaatkan ujung sarung yang ditali. Permainannya hanya untuk saling memikul seperlunya.
Sebaliknya, perang sarung yang marak muncul dalam pemberitaan akhir-akhir ini, identik dengan kekerasan. Karena, ujung saru yang ditali, juga diberi gatau atau benda keras lainnya, dan mengenai bagian vital, yang bisa menyebabkan luka dan cedera.
“Jadi, jelas ada pemilintiran makna, menjadi perang. Sehingga tidak lagi identik dengan guyonan (perrmainan), cenderung bertendensi kelompok yang bisa saja ada konflik dan dendam. Jelas, ini bukan tradisi budaya,” tandasnya.
Dalam ilmu Sosiologi sendiri, menurutnya tarung sarung sebenarnya lebih dikenal sebagai tradisi budaya asal Bugis, dalam menyelesaikan masalah kedua pihak dengan kearifan lokal.
Agar tidak semakin negatif, menurut Luluk perlu menjadi atensi bersama, dalam konteks ‘tarung sarung’ ini. Yakni, dengan pendekatan tokoh agama juga budaya, juga atensi serius dari aspek ketertiban dan hukum, agar fenomena perang atau tarung sarung bisa dijaga dari potensi konflik atau kekerasan.
“Saya kira dua hal ini harus diupayakan secara bersama-sama, edukasi pemahaman esensi puasa Ramadan, juga penegakan hukum agar perang sarung tidak berubah menjadi ajang yang bisa memakan korban,” demikian Luluk Dwi. (Choirul Amin)