Malang Post – Para sivitas akademika baru bersuara. Karena baru akhir-akhir ini, kondisi politik – demokrasi semakin menyimpang.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, ketika menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk menyampaikan, banyak sivitas akademika yang baru menyuarakan keprihatinannya. Karena memang melihat kondisi pemerintah awalnya baik baik saja. Kemudian semakin kesini banyak hal menyimpang yang terjadi.
“Sehingga sudah saatnya pihak perguruan tinggi, mengingatkan para petinggi politik, supaya kembali ke jalannya sesuai nilai-nilai yang seharusnya,” katanya di acara yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Selasa (6/2/2024).
Suko juga menyampaikan, salah satu contoh pelanggaran yang saat ini dilakukan, atas pelanggaran etik MK. Sehingga sebagai anak bangsa, maka harus mampu berfikir.
“Masih ada waktu untuk pemerintah, ketika mendengar suara perguruan tinggi untuk berubah,” sebutnya.
Guru Besar Universitas Negeri Malang, Prof Waras menambahkan, melihat para perguruan tinggi yang menyuarakan suaranya dengan lantang, ini atas dasar pengamatan dan perasaan yang sama. Sehingga perguruan tinggi merasa terpanggil.
Prof. Waras juga menjelaskan, di momen Pemilu ini, sebagai puncak atas keprihatinan demokrasi dan politik yang perkembanganya justru membuat kegelisahan banyak orang.
“Gerakan dari kampus-kampus yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang terlambat. Tapi ini sebagai sebuah letupan, melihat kondisi yang terjadi.”
“Ini bukan sebuah gerakan menyerang Presiden Joko Widodo sebagai presiden. Tapi mengingatkan supaya terus menjaga nilai nilai yang seharusnya dipegang,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi B Dewan Profesor Universitas Brawijaya, Prof Rachmad Safa’at, menegaskan, sejak Selasa pagi, beberapa civitas akademika UB sudah berkumpul. Mulai dari dosen, doktor, profesor sampai mahasiswa dan alumni mahasiswa.
Mereka tidak sekadar menyampaikan soal politik, tapi juga soal kinerja pemerintah Indonesia di lima tahun terakhir. Yang dinilai semakin melupakan etika politik dan demokrasi. Kondisi tersebut bisa mengancam negara.
“Diharapkan, dengan suara yang dikeluarkan ini, bukan hanya sekadar ikut-ikutan. Tentu ini bukan yang paling akhir, tapi kalau sampai tidak ada respon dari para jajaran pimpinan pemerintah, perlu adanya dialog supaya pemerintah mau mendengar,” katanya
Prof Rachmad juga menyebut, gerakan sebuah sikap terbuka dari beberapa kampus termasuk UB, sebagai bentuk kalau civitas akademik tidak diam saja. Melainkan peduli terhadap demokrasi politik Indonesia, yang sedang tidak baik baik saja.
“Seruan yang disampaikan hampir 30 universitas di Indonesia ini, bukan karena ada keberpihakan terhadap salah satu partai politik. Tapi karena memang terpanggil atas kondisi yang tidak baik,” jelasnya.
Diantaranya mulai dari undang undang cipta kerja yang seakan melupakan hak pekerja dan korupsi Indonesia yang semakin bergejolak. Wulan Indriyani – Ra Indrata)