Malang Post – Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM), Prof Dr Djoko Saryono MPd mengatakan, setelah pandemi Covid-19, pendidikan di Indonesia sebetulnya tidak baik-baik saja.
Di Kota Malang, misalnya, yang memiliki lebih dari 50 perguruan tinggi swasta. Angka putus sekolahnya di atas 10 ribu. Sementara angka putus sekolah paling banyak, justru ada di ibukota provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya.
Data itu dia ungkap, saat menjadi narasumber Refleksi Akhir Tahun: Pendidikan dalam Lanskap Politik 2024, yang diadakan Forum Keluarga Alumni (Fokal), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Raushan, beberapa waktu lalu.
Menurut Prof Djoko, hal-hal elementer seperti pendidikan yang seharusnya dinikmati warga bangsa, nyatanya belum bisa terpenuhi. Belum lagi adanya ketimpangan digital setelah gencarnya digitalisasi.
Nah, kalau bicara lanskap politik 2024, kata Prof Djoko, taruhannya ada pada pendidikan itu sendiri. Menurut dia, soal pendidikan, setiap daerah itu bisa berbeda-beda karena adanya otonomi daerah. Kepentingan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota mungkin juga berbeda.
“Meskipun sepintas tampak rukun, apa yang disebut faksionalisme dinamis alias tarik-menarik itu pasti akan terjadi,” tuturnya.
Akan tetapi, bagi Prof Djoko, menariknya pendidikan di Indonesia justru dengan adanya paradoks-paradoks itu.
Misalnya, antara pendidikan nasional dan daerah. Atau, antara pendidikan di Jawa dan di luar Jawa variasinya berbeda-beda.
Selain itu, antara hasrat untuk meningkatkan kualitas yang terlalu tinggi dengan efektivitas pendidikan tersebut juga tidak serasi.
“Misalnya, kita ingin peningkatan kualitas pendidikan dengan efisiensi waktu, biaya dan seterusnya, tapi pemerintah kemudian malah memangkasnya,” ujarnya.
Karena itu, dia mengkritik bahwa kini kualitas pendidikan terkadang ditentukan oleh persepsi dan durasi. Misalnya, lulus kuliah cepat dianggap lebih baik.
“Apakah ini tidak menyesatkan, ketika berhadapan dengan banyak hal. Sehingga proses pendidikan kita tidak hanya ugal-ugalan, tapi juga terburu-buru atau tergesa-gesa,” tegasnya.
Prof Djoko juga berharap, kita semua harus meredefinisi atau mendefinisikan ulang apa itu kualitas pendidikan.
“Apakah yang cepat itu pasti berkualitas?” kata profesor yang giat mendampingi para pelaku literasi tersebut retoris.
Adapun terkait jumlah guru, Prof Djoko mengungkapkan fakta menarik bahwa sebetulnya Indonesia ini surplus sarjana pendidikan.
Bahkan hingga dua kali lipat dari kebutuhan. Sayangnya, kebutuhan itu belum tentu bisa diakomodasi oleh kebijakan.
Bagi Prof Djoko, sumber daya manusia itu sangat penting, terutama di dunia pendidikan. Prof Djoko juga menegaskan bahwa tidak ada manusia yang siap pakai.
“Yang ada manusia siap berlatih dan siap beradaptasi,” tegasnya. (M. Abd. Rahman Rozzi)