
Malang Post – Anggota Badan Anggaran DPRD Kabupaten Malang, Budi Kriswiyanto, sepakat dengan penonaktifan sementara kepesertaan PBID BPJS Kesehatan, demi mengamankan APBD dari pembiayaan yang harus dikeluarkan.
“Saya sepakat penonaktifan kepesertaan PBID JKN. Pembiayaan APBD untuk PBID melalui UHC (Universal Health Coverage) bisa dilanjutkan Pemkab Malang, asalkan data sasaran penerimanya benar-benar klir,” kata Budi Kriswiyanto, di gedung dewan, Rabu (2/8/2023) sore.
Ia menegaskan, pertimbangan mengamankan APBD menjadi hal penting yang jadi atensi dewan. Karena, menurutnya pembiayaan premi iuran PBID selama ini ditanggung APBD Kabupaten Malang.
Sebelumnya, pihak BPJS Kesehatan Cabang Utama Malang memutuskan penonaktifan kepesertaan PBID sejumlah 679.721 jiwa per 1 Agustus 2023 kemarin.
Jika dikalkulasi, setidaknya lebih dari Rp25 miliar harus dikeluarkan pemkab Malang untuk pembayaran premi PBID, dengan kewajiban iuran Rp37.500 ribu/jiwa per bulannya.
Menurut Budi, masih banyak didapati data peserta PBID yang memang harus diverifikasi ulang. Pasalnya, ia sendiri mendapati banyak peserta PBID yang sebenarnya sudah meninggal, namun masih tercatat aktif di kepesertaan BPJS Kesehatan.
“Beberapa kali kami FGD di kecamatan dan desa, memang ada laporan banyak warga meninggal, namun masih terdata. Kami juga pernah meminta penjelasan pihak BPJS Kesehatan, dan diakui ketidaktahuan mereka bahwa sudah meninggal,” beber politisi PDIP ini.
Mirisnya, kata Budi, Pemkab Malang sendiri tidak bisa menarik kembali pembiayaan premi iuran peserta PBID, yang notobene sudah meninggal. Sehingga, ada potensi pembiayaan APBD yang sia-sia dan tidak tepat sasaran.
“Kami tidak mau APBD terus terbebani karena pembiayaan yang sia-sia atau tidak tepat, karena data sasaran yang masih harus ditertibkan ini. Kasihan nanti program OPD lain, kalau anggarannya tersedot untuk cover UHC bagi PBID yang sebenarnya tidak berhak ini,” tandas anggota dewan Komisi I ini.
Data peserta PBID yang harus dibenahi ini, menurutnya seperti warga yang sudah meninggal, tidak jelas domisili (kependudukannya), atau yang sebenarnya mampu membayar iuran mandiri. Seperti, pekerja penerima upah.
“Ya itulah, yang harus dibenahi ini, dengan pencoretan warga yang sudah meninggal. Warga masyarakat yang mampu juga, harus diverifikasi lagi. Jangan jadi penerima PBID,” tegas Budi.
Upaya pencoretan ini, bisa dilakukan BPJS Kesehatan dengan cukup dasar surat keterangan meninggal dari pemerintah Desa/kelurahan. Sebaliknya, tidak harus lebih dulu terbit Akte Kematian yang dikeluarkan Dinas Dukcapil.
Budi menegaskan, selain peserta PBI pusat, yang tidak bisa dimasukkan menjadi penerima PBID, adalah ASN, pekerja penerima upah, juga perangkat pemerintah desa.
“Harusnya, kita juga melakukan pendekatan pada masyarakat, kalau memang mampu disarankan mandiri. Jika tidak berkenan, mau tidak mau pelayanan kesehatannya di faskes, ya kelas III, kan,” demikian Budi Kriswiyanto. (Choirul Amin)