Akhirnya saya temukan: siapa perancang fondasi bambu jalan tol tersulit di Indonesia itu: LAPI ITB. Di bawah pimpinan Ir Andi Kurnia Kartawiria.
Saya juga harus mengoreksi soal berapa lapis bambu yang harus dihampar di jalan tol antara Semarang Demak itu: 13 lapis. Bukan 3 lapis seperti di Disway Senin lalu.
Dari Ir Andi akhirnya saya tahu: berapa batang bambu yang harus ditanam di situ: 10 juta batang. Yang besarnya sudah berdiameter 10 Cm. Yang panjangnya 10 meter.
Jangan lupa: 10 juta bambu. Jenis bambunya bisa apa saja. Itulah bambu yang sudah berumur tiga tahun. Belum tiga tahun pun diterima asal diameternya sudah 10 Cm.
Bambu itulah yang dipakai untuk mengatasi kondisi tanah lembek di daerah itu. Yakni tanah tambak yang selalu tergenang air laut di saat pasang (rob).
Kalau tanah seperti itu diuruk, berapa juta truk pun tanah uruk itu akan ditelan bumi sia-sia. Maka bambu harus turun tangan.
Ada dua macam tugas bambu di situ. Pertama: bambu yang ditancapkan. Kedua: bambu yang dihamparkan.
Andi lahir di Bandung. Ia lulusan tehnik sipil ITB. Juga lulus S-2 di prodi yang sama, di universitas yang sama. “Sekarang saya lagi ambil S-3 di Universiti Teknologi Malaysia,” katanya.
Lokasi yang harus ditancapi bambu itu selebar 150 meter, sepanjang 6 Km. Berbeda dengan sistem cerucuk di Pontianak, bambu di Demak ini tidak ditancapkan satu per satu. Setiap tujuh bambu diikat menjadi satu. Lalu ditancapkan. Jarak tancapan satu dengan berikutnya 1 meter.
Anda sudah tahu sendiri jumlah bambu yang harus ditancapkan: 7 x 150 x 6.000. Saya istilahkan itulah bambu cerucuk.
Di Pontianak kondisi tanahnya mirip itu. Kalau Anda membangun rumah di Pontianak, juga harus menanam cerucuk dulu. Di sana yang dipakai cerucuk adalah batang pohon bentangor. Besar pohonnya sama dengan bambu untuk Demak itu. Atau sedikit lebih kecil. Kayu bentangor itu tidak akan lapuk. Kian kena air kian keras.
Apakah bambu untuk jalan tol Demak juga tidak akan lapuk?
“Tidak,” jawab Andi. “Asal, di bawah tanah itu tidak terjadi perubahan ekstrem dari basah ke kering,” jawab Andi.
Selain yang untuk cerucuk, ada bambu yang harus dihampar di atas cerucuk.
Awalnya, empat bambu dijejer. Diikat menjadi seperti rakit. Rakit itulah yang dihampar di atas cerucuk. Jarak satu rakit dengan rakit lainnya 40 Cm. Yang harus diihampari sama: selebar 150 meter. Sejauh 6 Km.
Anda juga sudah bisa menghitung sendiri: berapa jumlah bambu yang dirakit yang dihampar di sana.
Setelah rakit itu dihampar, diberilah tanah di atasnya. Tebal tanah hanya sekitar 10 cm.
Di atas tanah itu dihampari lagi rakit bambu yang sama. Lalu ditutup tanah lagi setebal 10 cm. Lalu dihampari rakit bambu lagi. Tanah lagi. Rakit lagi. Tanah lagi. Sampai 13 lapis.
Ir Andi sudah punya pengalaman mengerjakan sistem fondasi seperti itu. Yakni di pelabuhan baru Kali baru, sebelah Tanjung Priok. Yang dibangun semasa RJ Lino menjadi Dirut Pelindo II. Tahun 2012.
“Waktu itu kami pakai 6 juta batang bambu,” ujar Andi.
Apakah ia akan bisa mendapat 10 juta bambu untuk jalan tol Demak?
“Itu urusan kontraktor yang menang tender nanti,” ujarnya. “Harusnya bisa dapat. Di lokasi bambu yang 6 juta dulu sekarang kan sudah tumbuh lagi,” guraunya.
Proyek tol ruas Semarang-Sayung itu kini memang masih dalam tahap tender. Belum tahu siapa pemenangnya. Sedang yang ruas Sayung-Demak sudah hampir jadi.
Di atas matras bambu itulah jalan tol dibangun. Tidak perlu tiang pancang lagi. Memang di situ tidak mungkin menggunakan tiang pancang. Sampai 60 meter pun belum akan bertemu tanah keras di bawah sana.
Tiang pancang hanya digunakan di kanan kiri sungai. Memang ada dua sungai di jalur sepanjang 6 Km itu. Salah satunya sungai Sayung. Fungsi tiang pancang itu untuk penahan matras bambu. Agar tidak longsor ke sungai.
Tentu untuk gelar doktornya di Malaysia nanti, Andi akan membuat desertasi tentang fondasi bambu tersebut.
Maka selama kuliah S-3 ia bisa tetap di proyek. Sambil melakukan penelitian. Berarti hanya sesekali saja harus ke Malaysia -untuk diskusi dengan pembimbing. Apalagi penelitian laboratoriumnya juga dilakukan di ITB Bandung.
Kenapa pelabuhan Kalibaru tidak dijadikan penelitian doktornya?
“Penelitian saya tentang mekanisme transfer beban untuk sistem cerucuk matras bambu,” ujarnya. Tentang teknologinya sendiri sudah banyak dipakai di Indonesia.
Teknologi ini memang kelanjutan dan pengembangan ilmu lama: zaman perang. Zaman itu tentara menebang kayu untuk dihampar di rawa. Agar tank dan pasukan bisa melewati rawa.
Sistem itu juga sudah banyak digunakan di tambang, di pengeboran minyak dan di kebun sawit.
Begitu lebar fondasi dasar jalan tol di Sayung itu: 150 meter. Padahal lebar jalan tolnya hanya perlu sekitar 50 meter.
Berarti jalan itu di situ nanti seperti berada di atas segitiga yang terpotong.
Itu memang bukan sekedar jalan tol. Tapi sekaligus tanggul laut. Agar rob bisa berhenti di situ. Agar tanah di selatan tol bisa kembali produktif.
Awalnya ada rencana dua proyek berbeda: proyek tol dan proyek tanggul laut.
Sebelum di jabatan itu, Ari memang menjabat dirjen Sumber Daya Air. Dengan demikian Ari juga ahli mengenai kelakuan air. Sekaligus ahli jalan. Dua keahlian itu ia manfaatkan untuk membangun jalan tol yang sangat khusus di ruas Semarang-Sayung.
Dari proyek ini ahli Indonesia kian berpengalaman: kalau saja kelak harus mengatasi rob di Semarang. Setidaknya kini kian ada harapan: Semarang bisa dicegah dari ancaman tenggelam. (*)