
Retribusi parkir salah satu sumber pendapatan Pemkot Batu yang tak memenuhi target. Karena dari target Rp 8 miliar hingga saat ini realisasinya belum sampai Rp 1 miliar. (Ananto)
Malang Post — Target pendapatan daerah Kota Batu mengalami penurunan sebesar Rp 99,8 miliar. Penurunan target tersebut terungkap saat pembahasan perubahan APBD 2021.
Dengan begitu ada pergeseran dari Rp 998,7 miliar mengacu pada APBD murni, menyusut menjadi Rp 898,8 miliar berdasarkan hasil penyesuaian.
Surutnya target pendapatan daerah salah satunya dipengaruhi oleh sektor pendapatan daerah (PAD). Semula ditargetkan sebesar Rp 200 miliar dan dari hasil penyesuaian menjadi Rp 143,7 miliar. Di sisi lainnya, pendapatan daerah bersumber dari dana transfer berkurang dari Rp 782 miliar menjadi Rp 738 miliar.
Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko menjelaskan alasan penurunan target pendapatan daerah. Dipangkasnya sisi ini lantaran dampak pandemi Covid-19 yang mempengaruhi sektor retribusi maupun pajak yang merupakan bagian dari pendapatan asli daerah (PAD). Proporsi PAD semula sebesar 20 persen, kini dilakukan penyesuaian menjadi 16 persen dari total pendapatan daerah.
“Melihat situasi sebagai akibat dampak Covid-19, maka target PAD mengalami penyesuaian pada perubahan APBD tahun 2021 menjadi 16 persen dari total pendapatan,” urai Dewanti.
Sementara itu, Divisi Riset Malang Corruption Watch (MCW), Janwar Tarigan berpendapat, akar persoalan dari merosotnya PAD karena adanya indikasi kebocoran. Hal itu berdasarkan temuan kebocoran PAD Kota Batu hingga Oktober 2021.
“Berdasarkan penelusuran MCW pada dokumen laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK Jatim tahun 2020, ada beberapa temuan kebocoran PAD Kota Batu hingga bulan Oktober 2021 belum diselesaikan,” ujar Janwar Tarigan, Divisi Riset Malang Corruption Watch (MCW).
Disebutkan, potensi kebocoran itu terdapat pada pajak reklame dan pajak air tanah yang belum sepenuhnya memadai. Potensi kekurangan penerimaan atas pendapatan pajak reklame minimal sebesar Rp 131,7 juta.
Di sisi lain tertundanya pendapatan retribusi izin mendirikan bangunan (IMB) sebesar Rp 99,6 juta. Lantaran terdapat 76 objek bangunan tak mengantongi izin, namun hal itu tak dikenakan sanksi. Belum optimalnya pengelolaan potensi PAD juga terlihat pada pemanfaatan barang milik daerah
“Pengelolaan pemanfaatan barang milik daerah belum sepenuhnya optimal yang mengakibatkan potensi penerimaan pemanfaatan kekayaan daerah belum diterima minimal sebesar Rp 128,8 juta,”bebernya.
Ia menambahkan, terdapat SiLPA dana bantuan hibah lembaga penyiaran publik lokal (LPPL) ATV Kota Batu tahun 2020 sebesar Rp 239 juta belum disetor sebagai pendapatan asli daerah. Serta BUMD, PT Batu Wisata Resource (BWR) memiliki kekurangan setoran laba yang masuk sektor PAD sebesar Rp 54 juta. Sejak 2019-2020 laba yang diperoleh dan telah masuk kas daerah sebesar Rp 44 juta.
Selain itu, lanjut Tarigan, dalam neraca tahun 2020, Pemkot Batu memiliki piutang pajak sebesar Rp 63,9 miliar dan piutang retribusi Rp 619 juta. Totalnya ada Rp 64,5 miliar piutang pajak maupun retribusi yang belum ditagih. Pada tahun 2019 lalu, piutang mencapai Rp 68,7 miliar.
Ia mengatakan, besarnya piutang yang belum ditagih menunjukkan kinerja Pemkot Batu dalam pengelolaan anggaran publik khususnya sektor pendapatan bisa dikatakan buruk. Karena Pemda dalam hal ini memiliki kewenanganan untuk memastikan pembayaran pajak dan retribusi serta menagih piutang yang ada (sifatnya memaksa).
“Patut dipertanyakan ketika piutang Kota Batu tetap tinggi. Mengapa piutang Pemkot Batu tinggi tapi tidak ditagih? Pihak mana saja yang berpiutang? Pemkot Batu perlu menjawab ini agar publik tahu. Jadi piutang Kota Batu tersebut merupakan potensi PAD riil Kota Batu yang seharusnya/wajib dapat ditagih oleh Pemkot Batu,” sebutnya.
Atas persoalan itu, MCW mendesak agar Pemkot Batu menagih piutang pajak dan retribusi hingga tahun 2021. Sehingga hal ini bisa menjadi sumber pendapatan untuk belanja mendesak seperti penanganan pandemi, belanja perlindungan sosial, dan memenuhi belanja pelayanan publik dasar sesuai ketentuan.
Selain itu, meminta agar menindaklanjuti seluruh temuan dalam LHP BPK tahun 2020 sesuai rekomendasi BPK. Sekaligus memastikan tidak berulang terjadi pada tahun berikutnya sebagaimana banyak terjadi temuan berulang pada tahun ini.
“Aparat hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian wajib memonitoring temuan BPK 2020 untuk mengetahui indikasi potensi kerugian keuangan daerah,” tandas Tarigan. (yan)