Malang Post – Tindak perundungan atau yang sering disebut bullying, kerap terjadi di lingkungan masyarakat. Tidak hanya di tingkat sekolah saja. Perundungan juga sering terjadi di lingkungan kerja.
Terbaru, kasus perundungan terjadi di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini terkuak melalui twitter korban yang berinisial MSA pada beberapa waktu lalu.
Ditanya ihwal tersebut, dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Diana Savitri Hidayati S.Psi M.Psi mengatakan.
Kasus perundungan sering terjadi baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan kerja. Dalam prosesnya, ada tiga pihak yang terlibat. Pelaku, korban dan penonton.
“Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan perundungan. Namun yang pasti, hal itu dapat terjadi karena kondisi yang memungkinkan,” ungkap dosen kelahiran Surabaya itu.
Lebih lanjut, Didi sapaan akrabnya, membedah beberapa penyebab seseorang menjadi pelaku maupun korban dari tindak perundungan.
Dari sisi pelaku, biasanya ia merasa dominan dan berhak untuk mengintimidasi pihak lain yang terlihat lemah atau tidak akan melawan. Pola asuh dan lingkungan yang salah, juga dapat menyebabkan seseorang memiliki sifat demikian.
Dalam kasus perundungan di kantor KPI, tingkat perkembangan usia para pihak yang terlibat adalah dewasa madya. Hal ini menunjukan bahwa pelaku dari kecil sudah biasa melakukan perundungan dan hal itu berlanjut hingga ke lingkungan kerja.
“Kalau dari sisi korban. Biasanya korban memiliki kepribadian yang lemah. Hal ini dapat berupa konsep diri yang negatif. Seperti selalu merasa dirinya salah atau merasa dirinya sudah biasa untuk dikalahkan. Hal ini dapat terbentuk dari pola asuh yang salah pula dari keluarga serta kritik yang tidak membangun,” ujarnya melanjutkan.
Dijelaskan Didi, perundungan akan berdampak negatif pada kesehatan mental korban. Dampak terburuk yang dapat menimpa korban adalah gangguan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) hingga keinginan bunuh diri.
Didi mengatakan ada dua hal yang mungkin terjadi, ketika seseorang mengalami perundungan. Pertama, korban akan menyikapi perundungan tersebut dengan cara positif. Berani melawan baik secara fisik maupun secara hukum.
Sementara yang kedua adalah, korban mungkin akan menyikapi perundungan tersebut secara negatif sehingga tidak berani melawan.
“Saya melihat dalam kasus KPI, MSA dapat menyikapi perundungan tersebut secara positif. Karena bisa berjuang dan melawan pelaku melalui berbagai cara. Butuh keberanian besar untuk mengungkapkan kejadian tersebut di sosial media.”
“Namun MSA mengalami gangguan PTSD karena perundungan telah terjadi selama bertahun-tahun. Ditambah lagi berbagai cara yang ia lakukan untuk melawan balik berakhir gagal,” ujar Didi.
Didi mengatakan ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi maupun mengatasi sebuah perundungan.
Pertama, mencari dukungan sosial jika terjadi tindakan-tindakan tidak menyenangkan di sekolah maupun kantor.
Kedua, selektif dalam mencari teman. Karena lingkungan pertemanan akan berpengaruh pada perilaku maupun pola pikir seseorang.
Ketiga, mampu membedakan ranah pekerjaan dan pertemanan. Sehingga dapat mengetahui lebih awal jika dirinya sedang dirundung.
“Perundungan biasanya terjadi secara bertahap mulai dari yang ringan seperti disuruh membelikan makanan sampai ke tahap kekerasan dan pelecehan seksual. Korban pada awalnya juga tidak menyadari bahwa dirinya sedang dirundung.”
“Hal ini terjadi karena sistem senioritas masih berlaku di Indonesia. Sehingga korban merasa lazim ketika diperlakukan sebagai junior dan disuruh-suruh. Oleh karenanya, dukungan sosial serta membedakan ranah pekerjaan dan pertemanan menjadi poin penting untuk mengetahui lebih dini ketika perundungan ringan terjadi,” tandasnya. (yan)