Malang-Post – Kesulitan membaca, menulis atau perilaku mogok sekolah pada anak seringkali dianggap remeh. Bahkan mereka kerap dilabeli sebagai anak yang malas, tidak bisa atau bodoh. Padahal hal tersebut bisa saja merupakan tanda awal dari gangguan belajar.
Gangguan belajar spesifik terjadi pada individu yang memiliki potensi kecerdasan yang bagus, bahkan di atas rata-rata, namun performa belajarnya berlawanan dengan kapasitas kecerdasan yang dimilikinya.
Misalnya saat menulis ada huruf yang terbalik, atau ada huruf yang hilang, mudah lupa. Tidak urut dalam melakukan aktivitas. Sehingga berdampak pada nilai prestasi akademik yang tertinggal dari teman-teman lainnya.
“Untuk itu penting bagi orang tua atau guru untuk mengenali tanda-tanda gangguan belajar pada anak sejak dini. Supaya dapat dilakukan tata laksana yang tepat untuk mengatasinya,” ujar Pakar Disleksia Dr Sri Susanti Tjahja Dini, M.Pd.
Dijelaskan dalam acara Webinar Learning Disability Awareness. Diselenggarakan Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP-UB).
Namun tidak semua ciri-ciri tersebut mengarah pada kesulitan belajar spesifik. Untuk itu perlu penegakan diagnosa oleh profesional.
“Perlu kerja sama antara guru, orang tua, dan profesional, yaitu psikolog, untuk mengatasi gangguan belajar agar masalah tidak semakin kompleks,” kata wanita yang akrab dipanggil Santi ini.
Adapun jenis-jenis gangguan belajar spesifik yaitu disleksia (gangguan kesulitan membaca atau mengeja), (gangguan menulis, tata bahasa) dan diskalkulia (gangguan berhitung, pemahaman angka).
Sebelum penegakan diagnosa, akan dilakukan serangkaian proses atau fase belajar yang teratur dan terstruktur sehingga bisa diukur keberhasilannya.
Strategi belajar yang harus dilakukan berbentuk remedial, dengan pendekatan multisensor. Disesuaikan dengan individu karena tiap individu berbeda kebutuhannya. Serta mengoptimalkan bakat dan minat untuk meningkatkan kepercayaan diri.
“Remedial bukan berarti mengulang, tetapi melakukan check list dari kemampuan dasar pre akademik seperti kemampuan memahami bentuk, mengelompokkan benda, huruf vokal dan konsonan. Karena kalau tidak memahami arti pengelompokan akan kesulitan belajar menghitung.”
“Untuk itu perlunya deteksi dini untuk mempercepat penegakan diagnosa gangguan belajar. Jangan sampai datang di usia terlambat karena seiring bertambahnya usia, akan semakin kompleks penanganannya,” papar Dr Sri Susanti, Minggu (6/6/2021).
Senada dengan yang dikatakan Santi, Dosen Psikologi UB Ika Fitria S.Psi., M.Psi menyampaikan. Jika tidak terdeteksi sejak dini maka dapat mempengaruhi kualitas hidup individu tersebut.
“Ketika individu mengalami gangguan belajar spesifik, penilaian individu tersebut terhadap dirinya sendiri rendah. Karena merasa berbeda dengan lingkungannya. Mereka dapat menarik diri dari lingkungan, kehilangan motivasi belajar, bekerja atau berelasi sosial,” jelasnya.
Menurut Ika, gangguan belajar spesifik ada kaitannya dengan neurodevelopmental disorder. Atau gangguan perkembangan syaraf di otak yang berkaitan dengan pemahaman bahasa, fungsi pemahaman dan penalaran logika. Berhubungan dengan tanda-tanda perilaku individu mengalami kesulitan membaca, mengeja atau berhitung. (yan)