Situbondo – Polemik Pengelolaan Kerjasama (PKS) Smart Market (SM) atau Simposium (Situbondo Market Point – Sinergi Usaha Mikro) yang berada di Kompleks Pasar Minbaan, Kecamatan Panji, Situbondo, akhirnya direspons pihak pengelola.
Aman Al Muhtar, juru bicara pihak pengelola SM mengatakan, bahwa PKS dalam pengelolaan SM itu tidak ada yang melanggar aturan. Alias sah-sah saja.
“PKS antara Pemkab Situbondo dengan CV Matlamat Agung yang dinilai cacat hukum tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Apalagi dibilang, batal demi hukum. Kalau kita lihat, sudah jelas di perjanjian kerjasama, ini syarat sahnya perjanjian kan sudah terpenuhi dan menjadi sah dan mengikat para pihak,” jelas pengacara muda asal Situbondo ini.
Lebih lanjut menurutnya, sudah jelas 4 syarat sahnya perjanjian. Yakni, sepakat, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu dan sebab causa yang halal. Persyaratan pertama dan kedua disebut syarat subyektif, sedang ketiga dan keempat adalah syarat obyektif.
“Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak dapat terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Apabila syarat subjektifnya tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan pengadilan. Jika belum, perjanjian terus berlaku,” ujar Aman, panggilan akrabnya.
Aman menambahkan, jika prosedurnya tidak tepat itu bukan lagi salah pihak ketiga atau investor. Sebab, soal regulasi dan aturan perjanjian kerja sama, pihak pemkab lebih tau dan paham.
“Saya harap pihak terkait duduk bersama, untuk nenyelesaikan permasalahan ini. Karena pastinya jika ini dibatalkan, maka akan lebih banyak yang dirugikan. Selain pihak investor, pemkab, sudah pakai uang rakyat kok malah rugi,” pungkasnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPRD Situbondo, Hadi Prianto yang getol mempersoalkan PKS SM mengatakan, pihaknya hanya menginginkan kerjasama itu sesuai peraturan perundang-undangan.Sikap ini sudah disampaikan DPRD dalam forum-forum resmi, termasuk ketika rapat paripurna.
“Keinginan kami hanya satu, dijalankan sesuai peraturan yang berlaku, terlepas dari siapapun pengelolanya,” katanya.
Ia menjelaskan, pola kerjasama terhadap aset milik daerah mengacu pada Perda No 06 Tahun 2019. Sedang yang terjadi, ada beberapa poin yang tidak sesuai aturan. Dari sisi administratif misalnya, tidak disebutkan obyek yang dikerjasamakan dalam dokumen kerjasama.
“Masih bias. Tidak disebutkan ruko mana, blok berapa. Ini yang kami minta dievaluasi,” paparnya.
Selain itu, penentuan besaran kontribusi dan bagi hasil juga tidak sesuai dengan perda. Hadi menyebut sewa ruko hanya sebesar Rp 35 juta per tahun.
“Kemudian amanah perda, nominalnya ditetapkan tim yang dibentuk bupati. Sementara, sampai saat ini tidak ada tim yang dibentuk,” pungkasnya.(hab/zai)