Apa yang terbersit di benak anda mendengar istilah Rangking 3? Tentunya suatu kebanggaan. Pasalnya rangking 3 itu termasuk juara utama.
Tapi, bila rangking 3 ini dalam hal korupsi, miris sekali. Lembaga Transparansi Internasional menurunkan hasil survey bahwa Indonesia menduduki rangking 3 negara terkorup di Asia. Survei ini dimulai Juni hingga September 2020.
Penyalahgunaan kekuasaan yang paling banyak menyumbang tingkat korupsi. Pelayanan publik tidak bisa sepi dari praktek suap menyuap dan koneksi personal.
Secara individual memang faktor kerasukan menjadi pemicu terjadinya praktek korupsi. Individu-individu yang rakus lantas menggunakan kewenangannya.
UU Tipikor terus dipreteli. Hasilnya sangsi hukum yang harus diterima oleh para koruptor tidak menjadikan jera. Bagaimana mungkin ada kebijakan nyleneh seperti asimilasi dan pemberian remisi?
Masih segar dalam ingatan kita akan kasus megakorupsi Jiwasraya, Asabri termasuk kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Harun Masiku. Dan anehnya, negara harus mengucurkan dana untuk membail-out Jiwasraya. Uang rakyat untuk menalangi uang rakyat. Jadi jangan harap para koruptor akan jera.
Di samping itu adanya sistem mahar politik. Guna bisa masuk dalam bursa Pileg, Pilpres dan Pilkada tentu membutuhkan biaya yang besar. Maka disinilah peran para kapitalis berlaku sebagai cukong. Imbalannya kebijakan politik menguntungkan mereka. Terjadilah persatuan antara penguasa dan pengusaha yang disebut sebagai Kleptokrasi.
Begitu pula dalam UU Parpol No 2 Tahun 2008 dan No 2 Tahun 2011 yang masih membuka peluang bagi napi koruptor ikut di dalam bursa pencalonan pemimpin publik. Secara rasional pemberantasan korupsi tidak akan pernah tuntas tatkala aturan hukumnya justru memberi peluang demikian. Tercatat sekitar 300 kepala daerah tersandung kasus korupsi.
Walhasil kejahatan korupsi yang masih menggurita di negeri ini tidak bisa lepas dari sekulerisme yang menjadi asas kehidupan. Sekulerisme telah meminggirkan rasa takut manusia terhadap dosa. Sekulerisme mendorong menumpuk kekayaan dengan berbagai cara termasuk dengan korupsi dan praktik suap menyuap.
Untuk memberantas korupsi dengan tuntas, prasyarat pertama dan utama adalah mengganti asas kehidupan dari sekulerisme berubah dengan berasaskan aqidah Islam. Dengan demikian manusia akan takut dosa bukan hanya saat berada di tempat-tempat ibadah maupun forum-forum pengajian. Juga manusia menjadi takut dosa tatkala berada di tempat-tempat umum, kantor-kantor dan instansi pemerintahan.
Selanjutnya para penguasa dan pejabat publik memang dipilih dari sosok-sosok yang tidak cacat kepribadiannya. Mereka adalah orang-orang yang adil, amanah dan mampu mengemban tugas-tugas pengurusan urusan publik.
Guna menjamin bersihnya para pejabat publik dari tindak pidana korupsi dan suap-menyuap, akan diadakan audit terhadap kekayaan mereka. Audit dilakukan minimal dua kali, yakni di masa awal menjabat dan di akhir masa jabatannya. Hal demikian pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khotthob ra dalam masa kepemimpinannya.
Tatkala diketahui ada penyimpangan dalam kekayaannya, maka negara segera menerapkan sangsi atasnya. Memberikan sangsi takzir terhadap kejahatan korupsi dan suap ini. Sangsi takzir ini disesuaikan dengan dampak kejahatan korupsi dan suap yang dilakukannya. Jadi sangsi takzir yang diterapkan dari penjara hingga maksimal hukuman mati. Di samping itu, negara akan melakukan penyitaan terhadap harta hasil korupsi dan suap tersebut tanpa memberikan potongan. Karena memang harta hasil korupsi dan suap-menyuap termasuk harta khianat. Harta khianat menjadi hak umum dan akan dikembalikan kepada kas negara untuk kepentingan umum.
Demikianlah arahan Islam dalam kebijakan dan sangsi terhadap tindak pidana korupsi dan suap-menyuap.
Penulis : Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP (Lembaga Analis dan Kajian Politik)