Luar biasa, dalam dua minggu utang Indonesia bertambah 24,5 T. Hutang ini didapatkan pinjaman dari negara Australia sebesar 15,45 T, serta Jerman sebesar 9,1 T yang merupakan hutang bilateral sebagai upaya penanganan Covid-19. Padahal hutang sebelumnya sampai agustus 2020 sudah mencapai 6.074 T. Jumlah utang luar negeri tersebut termasuk dalam sektor sentral sebesar 20,3 M dan sektor swata sebesar 210,4 M. Disisi lain, kesepakatan KTT G-20 yang digelar virtual pada tanggal 21-22 november kemarin 2020 memunculkan kesepakatan dari beberapa negara yang rentan menghadapi dampak pandemi Covid-19 dapat melakukan perpanjangan cicilan hutang hingga pertengahan tahun 2021.
Laporan Bank Dunia menyebutkan jika Indonesia termasuk ke dalam 10 negara berpendapatan kecil menengah dengan jumlah utang terbesar di tahun 2019. Memiliki beban hutang yang semakin lama, semakin menggunung akan sangat berpotensi menyedot sumber daya negara. Padahal sumber daya ini dapat digunakan untik mendanai krisis dan mempercepat upaya pemulihan setelah negara tersebut diterjang krisis. Sedangkan Sumber Daya Alam Indonesia yang melimpah ruah sudah banyak yang dimiliki asing, dan sedikit sekali yang dimiliki oleh negara Indonesia. Sangat disayangkan sekali, negara penghutang dinegeri yang kaya.
Walaupun sudah mengupayakan untuk memperpanjang pelunasan hutang tetap saja membebani masyarakat baik jangka pendek ataupun jangka panjang. Dalam jangka pendek pemerintah melakukan beberapa upaya agar dapat melunasi hutang diantaranya menaikkan pajak, suku bunga, dan lain sebaginya. Dalam jangka panjang akan sangat berpeluang menjual aset-aset kekayaan alam Indonesia. Kondisi terburuknya yaitu banyaknya aset-aset vital yang dirampas oleh negara yng menghutangi jika tidak mampu lagi membayar, bukan hal tidak mungkin jika tidak mampu membayar karena adanya praktik riba didalamnya yang semaikin hari bunga yang harus dibayar semakin meningkat. Pada saat ini lah negara-negara yang memberi hutang menjadikan negara penghutang seperti sapi perah, sehinggah dapat memaksakan kehendaknya. Seperti negara Pakista, Srilanka, serta Zimbabwe yang harus menyerahkan sektor vital seperti pelabuhan, hingga mengganti mata uang negaranya dengan mata uang negaranya, karena gagal bayar hutang.
Lagi-lagi menjadikan rakyat korban dari ketidakbecusan penguasan dalam mengatur urusan negara. Kejadian ini telah menunjukkan jika hutang yang diberikan negara-negara pemberi hutang (kapitalis) hakikatnya merupakan upaya untuk menjajah ekonomi negara-negara yang menerima hutang. Sedangkan penguasa tidak dapat melawan, karena inilah konsekuensi penerapan sistem negara Kapitalis-Demokrasi. Negara hanya sebagai fasilitator negara kapitasis, sebab sistem demokrasi sangatlah mahal sehingga para kapitalis akan sangat berperan besar untuk menjadikan siapa yang berkuasa. Upaya mempermudah utang merupakan bentuk balas jasa penguasa kepada para kapitalis.
Hal ini sangatlah berbeda dalam sistem khilafah islam, khilafah tidak akan menjadikan hutang luar negeri sebagai sumber pendapatan negara karena akan sangat mengancam kedaulatan negara. Selain itu hutang ini terdapat praktik riba yang haram. Adapun diperbolehkannya hutang jika tidak ada unsur riba dan saat baitul mal dalam keadaan kosong. Dalam daulah khilafah islamiyah terdapat tiga sumber utama kas baitul mal yaitu: fai dan kharaj’, kepemilikan umum dari Sumber Daya Alam yang melimpah dan fasilitas public yang merupakan hak kaum muslimin dan tidak boleh dimiliki oleh individu, dan sedekah ataupun zakat yang distribusikan kepada 8 asnaf. Ketiga sumber utama abaitul mal dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, dikelolah untuk berbagai fasilitas seperti kesehatan, pendidikan, pembangunan, dan fasilitas umum lainnya.
Hal ini pernah terjadi pada masa kekhilafaan Abbasiyah Harun Ar-Rasyd kesejahteraan dan ketrentraman sangat dirasakan oleh masyarakat hingga sangat sulit layak mencari orang yang diberikan zakat, infak, dan sedekah hingga baitul mal mengalami surplus sebesar 900 dinar atau setara dengan 3.825 T. Jika saja Indonesia mau membabaskan diri dari sistem ekonomi kapitalisme dan sistem demokrasi, beralih pada sistem islam maka akan terbebas dari penjajahan negara-negara kapitalisme.
Penulis : Nina Mardiani (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM))