Benny Wenda sebagai Ketua ULMWP (sebuah organisasi politik bagi kemerdekaan Papua Barat) telah memproklamirkan kemerdekaan Papua Barat. Bahkan ia memproklamirkan diri sebagai Presiden sementara bagi Papua Barat. Proklamasi Wenda dilakukannya di media sosial. Dan anehnya pula, saat memproklamirkan tersebut, Wenda berada di Inggris tepatnya Oxford.
Menanggapi proklamasi Benny Wenda tersebut, Pemerintah Indonesia segera memanggil duta besar Inggris untuk Indonesia. Pemerintah Indonesia mengecam keras aksi Benny Wenda. Duta Besar Inggris sendiri berjanji akan menyampaikan ke pemerintahnya terkait kecaman keras Indonesia tersebut.
Sikap Inggris sendiri sempat menimbulkan kekecewaan pada diri Benny Wenda. Inggris masih menghormati hasil Pepera 1969 terhadap Papua yang sudah diakui secara internasional. Artinya Inggris dalam hal ini tidak mau terlibat terlalu jauh dalam persoalan Papua. Menurut hemat penulis, Inggris mengambil posisi wait and see.
Kalau disebut netral, tidaklah bisa demikian posisi Inggris. Mengapa Inggris memberikan suaka politik pada Benny Wenda di tahun 2003? Tentunya Inggris mengetahui bahwa Benny Wenda termasuk aktor intelektual wacana kemerdekaan Papua Barat. Apalagi sempat pula Pemerintah Oxford memberikan penghargaan Oxford Freedom of The City Award kepada Benny Wenda. Saat menerima penghargaan tersebut, Benny Wenda menyatakan bahwa Oxford termasuk salah satu yang pertama mendengar tangisan rakyat Papua untuk keadilan, hak asasi manusia dan menentukan nasib sendiri. Di sisi lain, PBB sendiri mulai tahun 2013 telah menetapkan kebijakan untuk melindungi orang-orang yang mendapat suaka politik dari konvensi atas nama hak asasi manusia.
Jadi Inggris mendukung Indonesia untuk memberikan ruang keadilan, hak asasi dan hak menentukan nasib sendiri kepada Papua. Bukankah Indonesia sudah memberikan status otonomi khusus bagi Papua?
Status otonomi khusus tersebut justru memberikan ruang sempit bagi Indonesia dalam mempertahankan Papua. Buktinya pada saat terjadi aksi pembantaian terhadap warga pendatang di Wamena tahun 2019, Indonesia tidak bisa berbuat banyak selain berperan layaknya seorang satpam. Memang buah simalakama bagi Indonesia.
Kalau Indonesia bersikap tegas dan keras secara militer tentu dipandang bisa melanggar HAM. Mengambil pelajaran dari Operasi Mawar sebelum lepasnya Tim Tim. Operasi Mawar waktu itu hanya menjadi bom waktu bagi diterimanya surat dari John Howard, PM Australia oleh Presiden BJ Habibie. Surat itu menandai tekanan kepada Indonesia untuk lahirnya referendum. Akhirnya kasihan Indonesia. Bergerak menjadi catatan hitam penegakan HAM dan jika diam, Indonesia dipandang tidak bisa menegakkan HAM. Kerusuhan terus saja terjadi. Inilah faktor yang dominan bagi catatan Dewan Keamanan PBB. Dengan kata lain, Indonesia dipandang belum berhasil menjamin keadilan dan ham.
Tidak bisa pula dinyatakan bahwa proklamasi Benny Wenda itu tidak bisa mewakili aspirasi Papua, hanya karena Benny Wenda tinggal di Inggris. Apa yang dilakukan Benny Wenda memang ditolak oleh TNPPB (Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat). Perbedaannya terletak pada garis perjuangan. ULMWP bergerak secara diplomasi. Adapun OPM dengan TNPPB bergerak dalam hal konfrontasi bersenjata. Bukan soal kemerdekaan dan pemerintahan sendiri. Keduanya mempunyai tujuan tersebut. Hanya saja secara prosedural dan di luar aturan yang berlaku. Artinya memproklamirkan lalu menobatkan diri sebagai presiden Papua Barat tanpa berkoordinasi dengan elemen di Papua.
Ada yang beranggapan bahwa proklamasi Benny Wenda hanya melahirkan negara dan pemerintahan yang ringkih. Hanya saja yang patut kita perhatikan adalah ajakan Benny Wenda kepada Presiden Jokowi untuk duduk bersama membicarakan persoalan Papua. Dari negara ke negara. Tidak bisa dibayangkan kalau undangan ini terwujud, tentu merupakan bunuh diri politik. Dengan kata lain, pertemuan tersebut akan menandai akan pengakuan Indonesia atas kemerdekaan Papua. Lebih jauh lagi, Benny Wenda akan bisa memaksakan maksud-maksud politiknya. Berkaitan dengan proklamasinya, Wenda menyebutkan sebagai jembatan menuju referendum.
Oleh karena itu, menuju ke arah maksud politik tersebut, menginternasionalisasi persoalan Papua menjadi penting. Dengan duduknya Wenda-Jokowi dalam satu forum, tentunya akan melibatkan mediasi internasional. Lagi-lagi PBB akan ikut turun tangan. Di samping itu, melihat sikap reaktif pemerintah Indonesia, Benny Wenda justru menekankan tentang adanya mekanisme internasional.
Persoalan Papua akan terus dan terus berlanjut hingga otonomi khusus pada Papua berubah dalam referendum. Akankah Papua akan seperti Timor Leste? Tergantung lagi kepada sikap politik pemerintah.
Persoalan Papua akan terus menemukan alibi. Kemiskinan dan keterbelakangan semenjak menjadi wilayah Indonesia. Dengan kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi tidak linear dengan kesejahteraan rakyat Papua. Pada September 2019, jumlah warga miskin sebanyak 207.590 jiwa. Sedangkan pada Maret 2020 naik menjadi 208.580 jiwa. Tingkat pendapatan warga Papua berkisar dari Rp 591.336 hingga sekitar Rp 610 ribu selama periode September 2019 hingga Maret 2020.
Pertanyaannya, akankah kekayaan alam Papua yang melimpah akan dikembalikan kepada rakyat bahkan bila kondisi terburuk Papua legal merdeka? Pesimis rasanya hal itu terjadi. Tambang emas di Papua yang dikeruk Freeport itu cadangannya akan habis hingga tahun 2051 atau 2060-an. Jumlah produksi per hari bisa mencapai 240 kg emas. Sedangkan tambang di tanah, mencapai 3 juta konsentrat. Dan terdapat 3 sumber tambang emas di Papua. Belum lagi kekayaan alam lainnya yang melimpah, salah satunya kawasan perairan Raja Ampat. Nyaris pengelolaan kekayaan alam dan tambang yang besar tersebut hanya akan menjadi incaran dari para kapitalis raksasa.
Demikianlah nasib Indonesia sebagai negara pengikut. Kebijakan politik luar negeri dan dalam negerinya akan selalu dibuat bulan-bulanan oleh negara-negara besar atas nama internasional.
Sesungguhnya persoalan Papua adalah persoalan internal Indonesia. Oleh karena itu tidak layak menjadikan persoalan internal bangsa menjadi komoditas internasional. Indonesia sendiri perlu memiliki ketegasan politik dan ideologis. Di sinilah pentingnya negara naik level. Bukan lagi sebagai negara pengikut akan tetapi naik level menjadi negara pertama.
Dengan menjadi negara pertama, Indonesia tidak akan menjadi bulan-bulanan kepentingan dalam kancah politik internasional. Dengan mendasarkan asas kebijakan politiknya pada salah satu ideologi dunia. Tentu saja ideologi yang layak menjadi asas kebijakan negeri ini adalah Ideologi Islam. Alasannya sederhana karena mayoritas rakyat negeri ini adalah muslim. Bahkan Islam adalah sejarah bagi bangsa Indonesia. Pada sejarah nusantara yang kedua, ratusan Kesultanan Islam yang menginduk ke Khilafah waktu itu sulit untuk ditaklukan penjajah.
Untuk kedua kalinya, Islam akan mewujudkan kewibawaan negara. Tidak akan ada yang berani mengobok-obok keadaan dalam negeri. Dengan demikian, kebijakan untuk memakmurkan seluruh daerah kekuasaannya akan berjalan sesuai dengan traknya.
Pembangunan daerah diukur dari kebutuhannya, bukan kekayaannya. Sehingga ketika Papua memang membutuhkan pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan, tentu akan diprioritaskan. Kekayaan alam tidak akan diserahkan kepada swasta dan asing. Dengan begitu akan tersedia dana yang melimpah bagi pembangunan seluruh daerah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah realitas dalam kultur masyarakat. Akan timbul rasa memiliki negara dan pemerintahannya tatkala terjadi pembauran antara warga pendatang dengan warga setempat. Keadilan hukum ditegakkan. Ditambah lagi secara imani, ada nash-nash hadits Nabi Saw yang mendorong terjadinya aktifitas menjaga perbatasan. Daerah-daerah perbatasan seperti Papua betul-betul akan menjadi semarak. Dengan begitu akan bisa menghidupkan roda perekonomian daerah.
Akibatnya tatkala ada upaya-upaya untuk memisahkan daerah dari pusat akan dihalangi sendiri oleh rakyatnya. Bukankah rakyat Homsh yang nasrani rela membela Khilafah walau harus berperang melawan pasukan salib yang akan menguasai wilayahnya?
Di samping itu negara memang mempunyai ketegasan sikap politik dan hukum terhadap setiap gerakan-gerakan untuk merongrong kesatuan wilayah. Demikianlah arah kebijakan Islam dalam menyatukan wilayahnya dalam satu kesatuan Kekuasaan Islam. Dan tidaklah sulit bagi Papua untuk dikembalikan lagi dalam pengaturan Islam. Bukankah Papua dulu pernah hidup dalam naungan kekuasaan Kesultanan Islam?
Penulis : Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)