Malang – Penghitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei yang dirilis dengan hasil akhir berbeda, tentu membuat masyarakat, terlebih tim pemenangan masing-masing paslon, berdegup. Semuanya dituntut bersabar dan bisa mengendalikan diri.
Menurut, Zen Amirudin, S.Sos, M.Med.Kom, Wakil Dekan III FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), kehadiran lembaga survei lewat penghitungan cepat (quick count) mampu menjadi jembatan dan memberikan informasi tentang persepsi, harapan, dan evaluasi publik terhadap kondisi dan perkembangan sosial-politik. Bahkan juga bagian dari pendidikan politik. Asal sesuai dengan etika dan profesionalisme sebagai lembaga survei.
“Karena itu, lembaga survei hanya ‘sekadar’ memotret kondisi lapangan sesuai kaidah-kaidah metodologi dan menyampaikannya ke publik. Perbedaan hasil, pastinya menjadi hal yang lumrah,” kata Zen Amirudin yang juga Pakar Komunikasi Politik UMM ini.
Dalam konteks Pilkada Kabupatem Malang, tiga lembaga ternama yaitu JIP, LSI Deny JA, dan SMRC merilis hasil berbeda. Sebenarnya hal ini wajar. Karena, masing-masing bisa jadi memiliki metode yang bebeda.
Tetapi karena hal itu berhubungan degan hasil kontestasi dua paslon (SanDi dan LaDub), tentu konsekuensinya pada kebingungan masyarakat. Karena itu dalam hal ini kita sedang diuji kedewasaan berpolitik untuk tidak bersikap berlebihan, tetapi bersabar menunggu hasil akhir rekapitulasi resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tetapi bagaimanapun pasti ada yang kalah dan menang. Ini menjadi suatu kewajaran dalam proses demokrasi. Yang menang jangan jumawa (sombong-red), dan yang kalah juga herus legowo.
Melihat trend dari hitung cepat, kemungkinan akan terjadi perdebatan panjang yangg berujung gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi hal itu tentu harus dengan ketentuan-ketentuan UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota. “Kita semua berharap Pilkada Kabupaten Malang berakhir tanpa konflik. Para tim sukses, relawan, pendukung untuk bisa colling down, sambil menunggu hasil akhir yang dirilis KPU,” ujar Zen.
Zen pun bersyukur, pelaksanaan Pilkada Kabupaten di tengah pandemi Covid-19 berjalan lancar dan aman. Karena pilkada di masa pandemi ini amat dibutuhkan konsensus politik yang mengedepankan kepentingan bangsa dengan memperhatikan tentang kesehatan, partisipasi, ketentuan pelaksanaan pemilu di masa pandemi, hingga risiko rusaknya legitimasi demokrasi.
Tingkat partisipasi pemilih pastinya juga akan menjadi salah satu tolak ikur pilkada di akhir tahun ini. Apakah kesadaran akan kesehatan berkorelasi dengan tingkat kehadiran? Atau ada indikator/instrumen lain yang menjadikan partisipasi menurun. Misal kurang optimalnya lembaga politik dan pemerintah dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat?
Yang jelas pelaksanaan pilkada serentak 2020 dalam situasi Pandemi Covid 19 menjadi momen pendidikan politik tersendiri bagi seluruh Bangsa Indonesia. Bagaimana mewujudkan political engagement bagi segenap Bangsa Indonesia dengan memberikan akses ruang yang lebih bersinergi antara literasi politik dan literasi kesehatan.
Proses pilkada sudah dilalui bersama dengan ketentuan yang berlaku. Setiap paslon dengan berbagai strateginya telah meggaet hati rakyat. Dan rakyat sudah menentukan pilihannya. Hasilnya kita tunggu saja dari penyelenggara Pilkada (KPU).
Pasca-pilkada seyogyanya ada tradisi saling silaturahmi kembali antar-paslon. Komunikasi secara simbolik itu penting dilakukan untuk meredakan tensi politik di akar rumput. Dalam banyak kajian menunjukan bahwa dalam kontestasi politik acap kali menyisakan kekacauan psikis pemilih yang ideologis maupun pragmatis. Karena calonnya kalah.(roz/ekn)