Malang – Jangan buang minyak goreng bekas (jelantah). Sebab, dapat diolah menjadi sumber energi alternatif biodiesel.
Potensi bisnis minyak jelantah yang menjanjikan di masa depan ini disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurut Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Kementerian ESDM, Saleh Abdurrahman, pemanfaatan jelantah untuk biodiesel ini menjadi salah satu opsi yang baik sebagai bagian dari peningkatkan sirkular ekonomi.
Dalam hal ini, pelaku bisnis mendaur ulang pemanfataan sumber daya untuk terus menghasilkan manfaat ekonomi, sekaligus mengurangi dampak lingkungan.Saleh mengungkapkan, kajian awal TNP2K dan Traction Energi Asia tentang Potensi Minyak Jelantah Untuk Biodiesel dan Penurunan Kemiskinan di Indonesia (2020) mencatat, pada 2019 konsumsi minyak goreng sawit nasional mencapai 16,2 juta kilo liter (KL).
Dari angka itu rata-rata jelantah yang dihasilkan berada pada kisaran 40-60 persen atau berada di kisaran 6,46 – 9,72 juta KL. Sayangnya, jelantah yang dapat dikumpulkan di Indonesia baru mencapai 3 juta KL atau hanya 18,5 persen dari total konsumsi minyak goreng sawit nasional.
Kajian itu juga menemukan bahwa hanya sebagian kecil jelantah di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai biodiesel. Dari total jelantah yang terkumpul, hanya sekitar 570 KL yang dikonversi untuk biodiesel dan kebutuhan lainnya. Sisanya sekitar 2,4 juta KL digunakan untuk minyak goreng daur ulang dan ekspor.
TNP2K dan Traction EnergyAsia menyebut, hal itu disebabkan belum ada mekanisme pengumpulan jelantah baik dari restoran, hotel, dan rumah tangga Tantangan lainnya adalah sebaran lokasi sumber jelantah yang tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel. Selain itu,teknologi pengolahan–terutama yang dikelola masyarakat– belum cukup efisien. Juga kualitas biodiesel hasil olahan jelantah yang masih perlu diuji lebih jauh.
Padahal, pengolahan jelantah untuk biodiesel dapat mendatangkan banyak manfaat, baik dari sisi ekonomi, kesehatan maupun lingkungan. Dari sisi ekonomi, pengelola Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Tarakan Timur, Sardji Sarwan, mengatakan, omset produksi biodiesel yang dihasilkan kelompoknya sudah mencapai Rp2 juta per hari.
Ia mempekerjakan sembilan karyawan yang bekerja empat jam per hari, dengan bayaran Rp2 juta per bulan per orang. Produk biodiesel yang dihasilkan bisa mencapai 180 liter per hari dan dijual dengan harga Rp11 ribu per liter.
Walaupun data yang ada memang menunjukkan bahwa biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak jelantah lebih besar dari biaya konversi biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit, harga indeks produksi (HIP) minyak jelantah untuk biodiesel lebih rendah dibanding HIP minyak kelapa sawit. Karena faktor bahan baku.
Dari sisi kesehatan, serapan jelantah untuk produksi biodiesel bisa mengurangi alokasi penggunaan jelantah yang didaurulang sebagai bahan masakan, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi risiko meningkatnya kadar HNE atau zat beracun yang mudah diserap dalam makanan pada makanan yang dapat mengakibatkan stroke, alzheimer dan parkinson. Dari sisi lingkungan, pengolahan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel bisa berdampak positif terhadap pengurangan limbah B3.
Tak hanya itu, pengolahan kembali dapat mengurangi pembuangan jelantah yang dapat mencemari lingkungan dan mengganggu ekosistem. Sebagai catatan, jelantah yang dibuang sembarangan memberikan risiko meningkatnya kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) di perairan. Ini menyebabkan tertutupnya permukaan air dengan lapisan minyak.Imbasnya, sinar matahari tak dapat masuk ke perairan yang mendorong matinya biota dalam perairan, serta berpotensi mencemari air tanah.(idp/ekn)