Washington DC – Membanggakan, itulah kata yang cocok untuk menggambarkan Moorissa Tjokro (26 tahun), perempuan Indonesia yang saat ini bekerja di California, Amerika Serikat. Bagaimana tidak, Moorissa adalah 1 dari hanya 6 Autopilot Software Engineer perempuan yang bekerja untuk perusahaan yang dipimpin Elon Musk itu.
Kalau anda mengikuti berita perusahaan mobil Tesla di Amerika Serikat, yang beberapa waktu lalu meluncurkan fitur kecerdasan buatan swakemudi penuh atau Full-Self-Driving versi beta, yang kini sudah tersedia secara terbatas bagi para pengguna mobilnya. Moorissa adalah salah satu insinyur perangkat lunak autopilot yang menggarap teknologi itu.
Baru-baru ini, Moorissa Tjokro berbagi cerita soal pekerjaannya di Tesla, dalam wawancara bersama Tim VOA.
Dua Tahun Bekerja di Tesla
Bekerja untuk Tesla sejak Desember 2018 silam, sebelum dipercaya menjadi Autopilot Software Engineer, Moorissa ditunjuk oleh Tesla untuk menjadi seorang Data Scientist, yang juga menangani perangkat lunak mobil.
“Sekitar dua tahun yang lalu, temanku sebenarnya intern (magang.red) di Tesla. Dan waktu itu dia sempat ngirimin resume-ku ke timnya. Dari situ, aku tuh sebenarnya enggak pernah apply, jadi langsung di kontak sama Tesla-nya sendiri. Dan dari situlah kita mulai proses interview,” kenangnya.
Perempuan kelahiran tahun 1994 ini dalam keseharianya bertugas untuk mengevaluasi perangkat lunak autopilot, serta melakukan pengujian terhadap kinerja mobil, juga mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya.
“Kita pengin banget, gimana caranya bisa membuat sistem itu seaman mungkin. Jadi sebelum diluncurkan autopilot software-nya, kita selalu ada very rigorous testing (pengujian yang sangat ketat.red), yang giat dan menghitung semua risiko-risiko agar komputernya bisa benar-benar aman untuk semuanya,” jelas perempuan yang sudah menetap di Amerika sejak tahun 2011 ini.
Demi Full-Self-Driving, Rela Kerja Hingga 70 Jam Seminggu
Menggarap Fitur Full-Self-Driving ini tentunya bukan perkara mudah. Pasalnya fitur ini adalah salah satu proyek terbesar Tesla yang merupakan tingkat tertinggi dari sistem autopilot, di mana pengemudi tidak perlu lagi menginjak pedal rem dan gas.
“Karena kita pengin mobilnya benar-benar kerja sendiri. Apalagi kalau di tikungan-tikungan. Bukan cuman di jalan tol, tapi juga di jalan-jalan yang biasa,” tambah perempuan yang hobi melukis di waktu senggangnya ini.
Moorissa mengaku bahwa proses penggarapan fitur ini “benar-benar susah” dan telah memakan jam kerja yang sangat panjang, khususnya untuk tim autopilot, mencapai 60-70 jam seminggu.
Walau belum pernah berinteraksi secara langsung dengan CEO Elon Musk, banyak pekerjaan Moorissa yang khusus diserahkan langsung kepadanya.
“Sering ketemu di kantor dan banyak bagian dari kerjaan saya yang memang untuk dia atau untuk dipresentasikan ke dia,” ceritanya.
Mengingat tugasnya yang harus menguji perangkat lunak mobil, sebagai karyawan, Moorissa dibekali mobil Tesla yang bisa ia gunakan sehari-hari.
“Karena kerjanya dengan mobil, juga dikasih perk (keuntungan.red) untuk drive mobilnya juga kemana-mana, biar bisa di testing,” jelas Moorissa.
Tak Banyak Perempuan di Dunia STEM
Moorissa cukup berprestasi di dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik/Engineering, Matematika) memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Tahun 2011, saat baru berusia 16 tahun, Moorissa mendapat beasiswa Wilson and Shannon Technology untuk kuliah di Seattle Central College. Pada waktu itu ia tidak bisa langsung kuliah di institusi besar atau universitas di Amerika, yang memiliki persyaratan umur minimal 18 tahun.
Tahun 2012, Moorissa yang telah memegang gelar Associate Degree atau D3 di bidang sains, lalu melanjutkan kuliah S1 jurusan Teknik Industri dan Statistik, di Georgia Institute of Technology di Atlanta.
Selain aktif berorganisasi di kampus, berbagai prestasi pun berhasil diraihnya, antara lain President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech. Tidak hanya itu, ia pun menjadi salah satu lulusan termuda di kampus, di umurnya yang baru 19 tahun, dengan predikat Summa Cum Laude.
Setelah lulus S1 tahun dan bekerja selama dua tahun di perusahaan pemasaran dan periklanan, MarkeTeam di Atlanta, tahun 2016 Moorissa lalu melanjutkan pendidikan S2 jurusan Data Science di Columbia University, di New York. Ia pun kembali menoreh prestasi dalam beberapa kompetisi, antara lain, juara 1 di ajang Columbia Annual Data Science Hackathon dan juara 1 di ajang Columbia Impact Hackacton.
Kecintaan Moorissa akan bidang matematika dan aljabar sejak dulu telah mendorongnya untuk terjun lebih dalam ke dunia STEM, sebuah bidang yang masih sangat jarang ditekuni oleh perempuan.
Berdasarkan data dari National Science Foundation di Amerika Serikat, jumlah perempuan yang memiliki gelar sarjana di bidang teknik dalam 20 tahun terakhir telah meningkat, namun jumlahnya masih tetap di bawah laki-laki.
Pada kenyataannya, menurut organisasi nirlaba, American Association of University Women yang bertujuan memajukan kesejahteraan perempuan melalui advokasi, pendidikan, dan penelitian, jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM, hanya 28 persen.
Organisasi ini juga mengatakan kesenjangan gender masih sangat tinggi di beberapa pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat dan dengan gaji yang tinggi di masa depan, seperti di bidang ilmu komputer dan teknik atau engineering.
Fakta ini terlihat di kantor Tesla, di mana hanya terdapat 6 Autopilot Engineer perempuan, termasuk Moorissa, dari total 110 Autopilot Engineer. Dua dari 6 perempuan tersebut kini fokus menjadi manajer produk.
“Jadi benar-benar jarang. Saya enggak tahu statistik di luar Silicon Valley, atau even di luar Tesla,” kata lulusan SMA Pelita Harapan di Indonesia ini.
Meski tak banyak perempuan di bidang ini, Moorissa mengatakan, ia merasa beruntung, karena tidak pernah mengalami diskriminasi atau perbedaan di dunia kerja yang masih didominasi oleh laki-laki ini. Meskipun menurutnya, perempuan cenderung lebih “nurut” dan mengiakan.
“Mungkin ini karena saya dibesarkan di Indonesia, jadi juga sering ngomong sorry dan mungkin ini bukan cuman cewek aja, tapi minoritas-minoritas di bidang yang tertentu, gitu. Jadi self-esteem (rasa percaya diri.red) kita juga bisa turun, karena kita representing a minority (mewakili minoritas.red),” ungkapnya.
Mengingat masih jarang terlihat perempuan yang terjun ke dunia STEM, Moorissa melihat kurangnya panutan perempuan di dunia STEM sebagai “tantangan yang paling besar.” Hal ini menyebabkan kurangnya motivasi terhadap perempuan untuk mencapai posisi eksekutif, khususnya di dunia teknologi dan otomotif.
“Karena jarang ya, untuk bisa melihat posisi itu adalah perempuan, karena memang enggak ada, gitu. Hampir enggak ada,” ucap Moorissa.
Moorissa pun tetap optimistis, terutama dengan adanya berbagai organisasi yang meningkatkan pemberdayaan perempuan di bidang STEM, seperti Society of Women Engineers.
“Ini sangatlah penting untuk generasi kita di masa depan,” tegasnya.
Didukung Penuh Keluarga
Keputusan Moorissa terjun ke dunia sains didukung penuh oleh keluarganya, yang melihat prestasi gemilangnya dan kecintaannya terhadap bidang ini.
“Tapi sebenarnya yang bikin aku benar-benar tertarik untuk ke dunia ini adalah ayahku, karena aku benar-benar, (beranjak dewasa melihat Ayah sebagai inspirasi terbesar dalam hidupku). Dia seorang insinyur elektrik dan entrepreneur, dan aku bisa ngeliat kalau teknik-teknik insinyur, itu benar-benar fun, penuh tantangan, dan itu aku suka,” ceritanya.
Lebih lanjut menurutnya, dalam meraih cita-cita dibidang apa pun, Moorissa berpesan “follow your heart” atau ikuti kata hati.
“Walau pun mungkin banyak orang yang enggak setuju atau berpikir keputusan kita bukan yang terbaik, we have to follow our hearts (dan) karena ketika kita follow our hearts, kita enggak mungkin nyesel,” pesan Moorissa.
“Dan ketika kita tahu apa yang kita suka, sebesar-besarnya tikungan, jalan, atau mountains, ada sedikit semangat untuk menekuni bidang tersebut,” pungkasnya.
Untuk ke depannya, Moorissa bercita-cita untuk membangun yayasan yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan di Indonesia. (VOA/anw)